ANAK TEKNOLOGI

Nana
Chapter #2

1| sedingin es teh

Segelas es teh dan mendoan goreng hangat adalah sajian ternikmat kala siang hari. Semua orang berasumsi seperti itu, sama halnya dengan Arin. Arin sangat menyukai semua makanan yang berbau tempe jadi ia setuju dengan pernyataan tersebut. 

Kantin cukup sepi hari ini, karena mengingat hari ini adalah hari jumat banyak kelas praktik selesai lebih cepat dari biasanya. Makanya kantin sepi, hanya ada beberapa mahasiswa disana, salah satunya adalah Arin sendiri.

Arin dalam posisi terwenak sekarang, bagaimana tidak. Arin duduk dibangku paling pojok kantin, dengan santainya kedua kakinya ia selonjorkan dibangku depannya, punggungnya ia senderkan ke dinding sembari tangan kanan dan kirinya berbagi peran yakni tangan kanannya ia gunakan untuk memegang mendoan dan tangan satunya digunakan untuk memegang ponsel. Dan sesekali ia akan membungkuk untuk meminum es tehnya, hmmm nikmat dunia sekali rasanya. Dunia serasa milik Arin sendiri.

Adit yang melihat Arin dari tempat parkir pun berinisiatif untuk menghampiri, niat hati ingin pulang karena sebentar lagi waktu salat jum’at akan tiba. Tapi kalau ketemu Arin dianggurkan rasanya mubadzir sekali. Jadi untuk sekadar menyapa dan ngobrol sebentar akan lebih bijaksana, daripada nanti Adit kepikiran. Seperti, “tadi ketemu Arin kok gue nggak nyapa sih?” Gitu, penyesalan seperti alur sinetron, yang semua konflik nggak guna, karena pada akhirnya tokoh antagonisnya akan mati tertabrak mobil kalau nggak kesenggol sepion motor. 

“Sendirian aja Rin?” tanya Adit setelah duduk disebrang Arin yang masih asik dengan es teh, mendoan, dan ponselnya.

“Lo lihatnya?”

“Sendirian sih.”

“Udah tahu, ngapain nanya nggak guna banget.”

“Yakan basa – basi dikit sama orang cantik, ndak apa – apa Rin.”

“Halahh, licin bener mulutnya.”

“Nggak kuliah lo?” pertanyaan nggak guna part dua, dari seorang Praditya Ramusa.

“Kuliah lah, kalau nggak ngapain gue di kampus ngab,” jawab Arin dengan kesal.

Adit mengangguk, lalu pertanyaan nggak guna part tiga dari Adit terucap lagi “Lo nggak pulang?”

Arin yang sedang menikmati waktu luangnya malah dirundung kesal karena ulah oknum yang bernama Praditya Ramusa, pertanyaan basa – basi Adit yang menurut Arin tidak ada manfaatnya. Karena semua pertanyaannya sudah ada jawaban di depan mata meskipun Arin tidak menjawabnya. “Karena lo masih lihat gue disini itu tandanya gue belum pulang Dit, jadi stop nggak usah tanya lagi kalau pertanyaan lo nggak mutu kayak tadi.” Pungkas Arin kesal, kemudian ia abaikan Adit yang masih nge – freeze di tempat.

“Rin?”

“Dit, please. Kalau nggak ada butuh mendingan lo diam aja. Soalnya ucapan lo dari tadi nggak ada yang guna.

“Galak banget sih Rin, lagi PMS apa gimana?”

“Lo bac*t sekali lagi, gue gampar.” Sahut Arin sambil menatap tajam ke arah Adit. Adit yang melihatnya bergedik ngeri. Tapi ia masih berusaha masuk agar bisa terjalin obrolan panjang dengan Arin, “kali ini gue serius Rin.”

Arin menghela napas lelah, kemudian ia letakkan ponselnya di atas meja dan hanya memfokuskan diri pada segelas es teh yang tinggal setengah dan mendoan goreng yang sudah tidak hangat lagi, “yaudah apa?" Jawab Arin sambil mengunyah hasil gigitan mendoannya. 

“Raina mana?”

“Masih di WS (workshop), kenapa? Tumben cari Raina,” jawab Arin tanpa mengalihkan fokusnya dari es teh dan gorengannya.

“Nah itu!” Sahut Adit dengan suara keras yang mampu membuat Arin terlonjak kaget dari tempat duduknya.

“Pelan kek, gue kaget anjir.” 

“Harusnya gue yang kaget, bukannya lo Rin.”

Lihat selengkapnya