Nasib jadi anak yang penurut itu ada enaknya dan ada nggak enaknya. Enaknya itu terhindar dari julidnya sang ibunda yang dipastikan kecerewetannya berada ditingkat wahid, dan bonusnya jadi anak yang nurut sama orangtua itu hadiahnya bisa terhidar dari dosa. Dan nggak enaknya itu mau bilang tidak itu sulit sekali, meski hati tidak berkenan dengan sesuatu yang perintahkan.
Kiasan tersebut sesuai dengan keadaan Sehan saat ini, Bunda Jemmi yang tadi bilang ada urusan penting dan butuh sekali bantuan Sehan untuk menyelesaikan. Dengan senang hati Sehan mengiyakan karena itu permintaan ibunya, tanpa adanya pikiran jelek untuk menolaknya.
Tapi iya – nya Sehan pada Bundanya sedikit ia sesali, seharusnya ia bertanya dulu tadi. Bantuan apa yang dibutuhkan Bunda Jemmi darinya. Bukan langsung mengiyakan jika akan menyesal seperti ini, ya gimana. Ternyata Bunda Jemmi menyuruh Sehan untuk mencuci piring beserta kawannya seperti, sendok, gelas dan lainnya yang jumlahnya audzubillah sekali, karena saking banyakny
“Bunda, bantuin,” rengek Sehan saat melihat Bunda Jemmi masuk ke dapur untuk memastikan keadaan putranya.
Bunda Jemmi melirik sekilas ke arah tempat cuci piring, sedikit berdecak lalu berkata “kurang sitik ngono Le, nanggung nek Bunda ngiwangi. Yok iso dewe ,yok. Anake Bunda kan baik," (kurang dikit gitu nak, nanggung kalau Bunda bantu. Yok bisa, kamu bisa. Anaknya Bunda kan baik).
“Dikit apanya Bun? Masih banyak banget ini. Bantuin napa?” Protes Sehan tidak terima.
Bunda Jemmi memasang wajah melasnya, “sendiri bisa ya mas? Bunda masih ada urusan soalnya. Mau beres – beres depan. Kasian Yangtimu (eyang putri) nanti, masa iya Bunda tega ngebiarin Yangti beberes sendiri.”
Runtuh sudah pertahanan Sehan, hati nuraninya tidak tega melihat ekspresi Bundanya yang seperti itu. Padahal Sehan tahu kalau itu hanya alasan Bunda Jemmi untuk mangkir membantunya. Tapi yasudah, akhirnya Sehan menganguk saja, biar cepat selesai. Sehan kadang heran kenapa bisa punya Ibu modelan Bunda Jemmi, yang akhlaknya sedikit minim. Bukan yang gimana – gimana sih, tapi sifat bobrok bin bar – barnya itu loh yang membuat Sehan harus sabar seratus tumpukan untuk menghadapi Bundanya.
Setelah bergelut dengan sabun pencuci piring satu jam lamanya di dapur, kini Sehan mengistirahatkan diri di sofa empuk ruang tengah di rumah neneknya. Hari ini memang ada acara keluarga besar gitu, seperti arisan keluarga pada umumnya. Arisan keluarga ini diadakan satu bulan sekali dan lokasi yang dipilih pasti di rumah neneknya, biar gampang ngumupulnya. Rumah nenek Sehan berlokasi di selatan kota Bantul, tepatnya desa Donotiro, kecamatan kretek. Salah satu kecamatan yang memiliki cukup banyak destinasi wisata untuk disinggahi
Ngomong – ngomong Sehan ini asli orang Yogyakarta, rumahnya dikawasan warungboto, umbulharjo sana. Jadi untuk ke rumah neneknya tidak perlu waktu lama, paling hanya satu – dua jam sudah sampai tujuan. Namanya juga daerah istimewa, mau lintas kabupaten pun tidak membutuhkan waktu yang lama. Contohnya nih, perjalanan sehari – hari Sehan dari rumah ke kampus tempatnya bekerja. Rumah Sehan ada di warungboto, kecamatan umbulharjo, Yogyakarta dan kampus Sehan beralamat di jalan parangtritis km 5, sewon, Bantul. Perjalanan yang dibutuhkan Sehan hanya tiga puluh menit saja, itupun bisa kurang kalau lalu lintas tidak padat. Berdasarkan alamat saja sudah jelas terlihat lintas kabupaten, tapi namanya daerah istimewa pasti punya kelebihan tersendiri bukan?. Dan perjalanan tersebut hanya melewati lima lampu lalu lintas dan tiga belokan saja, itu artinya Sehan sudah lintas kabupaten setiap harinya.
Lagi asik ngaso, tiba – tiba Sehan dikejutkan dengan suara cempreng adiknya yang baru saja pulang jalan – jalan dengan para sepupunya, “mas Sehan.” Begitu sang adik memanggilnya.
“Ora usah brisik Ning, pegel aku," (nggak usah berisik Ning, aku capek)
“Pegel nyapo sih mas e?" (capek ngapain sih mas?).“Asah – asah," (cuci piring). Jawab sehan
“Cemen gitu aja capek."
“Sembarangan kalau ngomong, kamu tahu nggak sebanyak apa?"
Ningning hanya mengendikan bahu acuh, “nggak tahu lah."