Suara keras musik menemani para pemuda yang sedang asik nongkrong di salah satu klub tersembunyi di daerah kota gede ini. Disebut tersebunyi karena hanya orang yang memiliki kartu keanggotaan khusus yang bisa masuk ke klub ini. Klub ini sengaja dibuat semi – privasi oleh yang punya, dan yang lebih konyolnya klub ini di tamengi oleh kafe dan resto ternama di kawasan tersebut. Nama kafenya adalah kafe legenda, tempat tongkrongan paling hits seantero Jogja. Dan siapapun orangnya yang pernah menjamah Jogja pasti akan tahu dengan kafe legenda.
Tapi sayang kafe legenda hanya dijadikan tameng sang punya untuk menutupi bisnis yang sesungguhnya yaitu klub malam tingkat bintang lima. Bisnis yang telah di kelola sejak lama dan memiliki cabang di mana – mana. Dan disetiap kota pasti sama yakni ada embel – embel resto untuk menutupi bisnis bejatnya.
Dan disinilah Wara sekarang ditempat tongkrongan favoritnya, klub malam legenda. Dia menjadi salah satu dari kumpulan para pemuda lainnya yang sedang berkumpul menikmati jedag – jedug musik di klub malam legenda.
Wara tengah duduk diantara temannya, tengah meneguk segelas vodka yang baru saja dituangkan Thomas, untuknya. Thomas adalah salah satu teman dari komplotan Wara lainnya. Satu komplotan ada tujuh orang, selain Thomas ada Adam, Bagas, Jaka, Danu, Nico, dan yang satunya lagi adalah Wara sendiri.
“Lo kenapa Ra?” Tanya Bagas pada Wara yang sejak tadi hanya diam.
“Iya tuh diam bae dari tadi, bisnis lo bangkrut apa gimana?” celetuk Adam, asal.
Thomas yang berada tepat di samping Adam langsung memukul keras tengkuk sang kawan, “kalau ngomong dijaga, kalau bisnis Wara bangkrut yang ada lo, gue, dan kita semua bisa mati karena kehilangan mata pencaharian.”
“Dih sadis banget perumpamaannya, MATI.” Adam menimpali perkataan Thomas.
“Benar sih apa kata Thom, bukan cuma kita tapi asia juga akan berduka kalau Sumaja gulung tikar.” Sekarang Nico ikut buka suara.
Sedangkan orang yang diomongkan hanya diam dipojokkan dengan ekpresi lesu dan kepalanya yang ia senderkan di punggung sofa. Wara sedang traveling dengan pikirannya sehingga tidak menggubris obrolan teman – temannya.
“Ra, Wara!” Panggil Jaka untuk sekadar memastikan keadaannya. Tapi nihil, panggilan Jaka tidak digubris oleh Wara. Karena ketidak responan Wara terhadap panggilan Jaka, membuat Adam tertarik untuk melanjutkan kejulidannya. “Tuhkan benar yang gue bilang tadi.”
“Dam please ya, kalau punya otak tuh dipakai jangan dipajang aja. Kalau yang lo kata tadi benar, yang ada kita udah sibuk sama kerjaan. Tapi sekarang? Kita masih santai aja, jadi tolong be smart.” Kini Nico yang sedari tadi diam ikut bersuara, menegaskan kalau yang dibilang Adam itu hanya delusinya dan tak perlu diumbar. Adam itu memang suka gitu, kalau ngomong otaknya nggak dipakai tapi dia tinggal, di dengkul.
“Tuh rasain diceramahi sama tetua lo.” Danu menyuarakan ejekannya pada Adam.
“Thom!” Satu kata yang mampu membuat semuanya diam dan mengalihkan atensinya ke sumber suara. Orang yang sejak tadi dighibahkan tanpa membalas ucapan apapun para sang kawan. Kini ia membuka mulutnya meskipun hanya sekadar menyebut nama salah satu sang kawan.
“Pripun pak bos?" ( gimana pak bos?).
“Hari senin lo luang nggak?”
“Sek bentar, tak cek note ku dulu.” Jawab Thomas, lalu bergegas mengambil ponsel pintar miliknya untuk melihat jadwalnya. Wara hanya mengangguk saja untuk menimpali jawaban Thomas.
“Dam senin lo ikut gue ya,”
“Kemana Pak bos?”
“Ke markas, gue ada perlu sama Ganjar”
“Ahh okay, siap”
“Terus buat kalian bertiga, seperti biasa pantau terus keadaan kalau ada apa – apa langsung lapor gue aja”
“Siap komandan!” Jawab Jaka, Bagas, dan Nico bersamaan.
Dan inilah sosok nyata dari seorang Baswara Adisena, tegas, lugas, padat, dan terpercaya di setiap tuturnya. Tidak ada celah negatif disetiap tutur yang dia ucapkan, tapi hanya satu yang membuatnya kurang. Hatinya yang rapuh dan mudah resah.