Arin masih diam di tempat, dia tidak tahu harus berkata apa. Karena kepanikannya tadi ia langsung lari keluar untuk menghampiri Sehan yang sudah menunggunya. Tanpa sadar ia hanya mengenakan hotpant pendek diatas lutut dan kaos oblong tipis, sungguh Arin malu sekali. Ditambah muka bantal dan rambutnya yang lupa ia sisir. Suer, Arin benci situasinya yang seperti ini, kenapa dia bodoh sekali waktu panik menyerangnya.
Setelah mempersilakan Sehan masuk ke ruang tamu kontrakannya yang seadanya itu, Arin hanya diam saja. Ia bingung ingin memulainya dari mana, karena dia juga tak tahu keperluan apa yang membawa Sehan mencarinya. Sampai akhirnya Arin memberanikan diri untuk bersuara, “Mas – “
“Rin –“ diwaktu bersamaan Sehan juga memanggil Arin. Dia juga berniat memecah keheningan yang telah berlangsung beberapa menit lamanya. Ternyata spontanitas seperti ini tidak hanya di drama saja tapi juga nyatanya ada itu terbukti dari reaksi alami Arin dan Sehan yang baru saja terjadi.
“Mas Sehan dulu aja.” Pungkas Arin setelahnya.
“Saya ganggu waktu istirahat kamu Rin?”
Arin membuat gestur dengan menggerakan kedua tangannya tanda tidak setuju dengan perkataan yang baru saja Sehan lontarkan. “Nggak kok Mas, kan kemarin udah janji juga.” Sahut Arin menimpali ucapan Sehan.
“Beneran?”
“Iya Mas nggak apa – apa.” Jawab Arin yang sudah sedikit lemas dalam bertutur dan tidak sekaku tadi.
“Mas Sehan nggak nyasar kan tadi?” imbuh Arin dengan pertanyaan untuk melengkapi ucapan basa – basinya tadi.
“Sempet nyasar tadi, tapi untung kamu cukup terkenal di sini jadi aman deh.” Jawab Sehan yang diiringi dengan kekehan recehnya.
Arin tersipu kemudian setelah mendengar jawaban Sehan, dia memang cukup dikenal di lingkungan kontrakan tempat ia tinggal. Karena Arin dan Raina senang sekali berkumpul dan ngobrol dengan ibu – ibu yang tinggal di sana, sekadar bertukar informasi atau kadang bergosip ria. Jadi wajar saja kalau Arin cukup dikenal disana.
“Alhamdulillah mas kalau ada yang bantu,” jawab Arin malu – malu.
Sehan mengangguk, lalu bertanya. “Kamu beneran nggak sibuk, kan?”
“Iya mas, santuy kalau sama saya.”
“Baiklah, ngomong – ngomong Rin – “ Sehan berkata namun sedikit menjedanya, yang kemudian Arin sahut “Kenapa mas?”
“Bisa nggak ngomongnya biasa aja, aku – kamu gitu?”
“Boleh mas, maunya gitu sih. Tapi sungkan loh aku, kalau mulai duluan hehe” kekehan lucu Arin mampu mengundang senyuman manis Sehan yang tak disadari oleh Arin.
“Kalau mau gue – lo juga nggak apa – apa, mas.” imbuh Arin lalu tawanya pecah tanpa sopan.
Sehan ikut tertawa karena terbawa suasana, kemudian Sehan menyudahinya dengan berkata “Wis ndak Rin (Nggak Rin), aku – kamu aja lebih enak”
Arin terkekeh lagi padahal baru saja selesai dengan acara tawa recehnya beberapa detik lalu, “ora kesel Rin, ngguyu terus? (nggak capek rin ketawa terus?)” selak Sehan di sela – sela tawa Arin. Bukannya berhenti tertawa Arin malah semakin menjadi tawanya, dia masih belum percaya jika Sehan adalah orang jawa. Karena wajahnya terlalu kebulean, kulit putih porselinnya dan alis tebalnya tidak mencerminkan jika seorang Sehan Dimitri adalah orang jawa tulen, bahkan yang Arin tahu Sehan anak jogja asli tanpa ada campuran darah luar negeri. Makanya kalau Arin mendengar Sehan ngomong bahasa jawa ia tidak percaya, berasa gimana gitu.