Pagi merekah di Taraje. Embun-embun bertelekan di bulir-bulir padi. Persawahan sejauh saujana mata memandang. Orang-orang Taraje terlihat bagai kurcaci di galengan dan pematang persawahan menghijau. Di sudut-sudut petak persawahan, sisa-sisa sesajen dengan kepulan dupa menyan merupakan hal lazim di Taraje. Bagi orang-orang Taraje sesajen itu adalah tradisi dusun mereka serta membudaya sejak pembabat alas dusun datang dan menetap.
Sesajen di sudut-sudut petak sawah, di sudut-sudut petak tetanaman palawija, di dekat batang pohon bebuahan, di empat penjuru rumah di Dusun Taraje terlihat biasa saja di mata orang-orang Taraje. Mereka merawat hubungan baik dengan pendahulu mereka melalui cara melestarikan tradisi tersebut.
Cuping hidung Tentrem mengenali wangi dupa yang terbawa oleh angin. Di sudut tanah lapang berumput, Tentrem duduk bersila, terkadang memeluk kedua lututnya. Rindang dedaun Kiara Payung menaungi dirinya selagi lima kambing asyik mengunyah rerumputan. Kadang kala kambing-kambing itu mengembik. Embikan kambing itu membuat Tentrem mengulum senyum.
Indra penciuman Tentrem menangkap bau yang dikenalnya. Begitu pun dengan telinganya yang mendengar gemeresak rerumputan seperti mendekati dirinya. Beliau mengangsurkan satu lengannya. Satu kambing yang mendekatinya makin mendekat sementara kepalanya mengelus-elus telapak tangan Tentrem yang terangsur.
Dengan gemas, Tentrem mengangsurkan lagi satu lengannya, menarik lalu memeluk kepala kambing itu. “Nang-ning-nang-ning-nang-ning-geung. Nang-ning-nang-ning-nang-ning-geung.” Semringah wajahnya. Dibenamkannya kepala kambing itu di bahu kirinya seakan-akan balita. “Sudah kenyang, belum, Nang?” Bahu Tentrem bergerak ke kiri-kanan sehingga kepala si Lanang juga ikut bergerak dalam pelukannya. Si Lanang menjawab dengan sekali mengembik, melepaskan kepalanya dari pelukan Tentrem dan berlari-lari kecil kembali menuju kawanannya.
Tersisa senyum terkulum di bibir Tentrem hingga melenyap selagi kedua lengannya memeluk lutut untuk dagu Tentrem bertumpu di atas kedua lututnya.
Menggembala kambing buat Tentrem hanya untuk mengusir bosan. Apa lagi yang bisa dilakukannya? Beliau hanya perempuan dusun, buta pula.
Sayup-sayup suara lelaki berteriak-teriak didengar oleh Tentrem. Pendengaran Tentrem menajam disela suara gemeresak dedaun Kiara Payung yang tertiup angin. Suara itu makin mendekati Tentrem.
“Aduh, Trem ..., Trem. Kamu itu bagaimana sih? Itu loh, kambing-kambing kamu itu menginjak-injak benih padiku yang baru kutanam.”
Tentrem mengenali suara yang sedang muring itu. Dia biasa memanggilnya Pak Anom.
“Wah, Pak Anom. Maafkan saya.” Gegas dia berdiri.
Dari kejauhan, sayup-sayup terdengar suara perempuan yang memanggil namanya.
Suara perempuan itu pun dikenali oleh Tentrem. Itu suara Tris, sang kakak.
Dinaungi rindang pohon Kiara Payung, ketiga orang itu bersidebat perihal satu kambing gembalaan Tentrem yang merusak benih padi Pak Anom.
“Ya, mohon maklum, ya, Pak.” Tris berkata, “Tentrem ini ‘kan enggak tahu apa kambing-kambing gembalaannya sedang makan, berak, atau menginjak sesuatu.”