Anak Tentrem

Andriyana
Chapter #3

Bab 2

Sejatinya, Mbah Asemo menduga bahwa perbuatan itu terjadi tidak serta-merta begitu saja. Ada niatan, ada upaya dari si pelaku, baik dengan iming-iming, rayuan dan sebagainya. Tentrem itu perawan belia dusun yang lugu, sedangkan perawan dusun yang lugu dan diberi anugerah mampu melihat warna langit pagi dan sore saja masih bisa termakan rayuan dan iming-iming lelaki, apalagi Tentrem? Sebagai lelaki, dia tahu betul. Ismowati, ibu Tris dan Tentrem adalah saksi hidup—betapa rayuannya begitu maut—kejantanannya sebagai lelaki. Namun bedanya, Mbah Asemo memang lelaki yang bukan lain di mulut lain di hati. Dia tidak mengambil kesempatan dalam kesempitan, memanfaatkan keluguan gadis-gadis belia dengan hanya sekadar mengambil keperawanannya saja meski dengan harta benda dan tanah berhektare-hektare yang dimilikinya di Dusun Taraje, dirinya mampu untuk itu.

Bahkan dugaan Mbah Asemo makin liar. Ada orang dengki, benci dan tidak suka dengannya, dengan semua harta benda yang dimilikinya, dan berusaha merusak nama baiknya di Dusun Taraje dan sekitarnya. Kelemahan dan kekurangan dalam keluarganya hanyalah Tentrem. Melalui Tentrem, menurut wasangka Mbah Asemo yang menganasir dalam hatinya, orang itu beraksi merusak nama baiknya dengan cara merusak selaput dara anak gadis belianya. Dengan begitu, dirinya akan menjadi bahan cemoohan Dusun Taraje dan sekitarnya. Tapi siapa? Mbah Asemo menduga orang itu bisa jadi adalah Anom yang pernah meminta ganti rugi atas benih padinya yang dirusak si Lanang; Marto, rumahnya terpencil di ujung Dusun Taraje dan berbatasan dengan dusun tetangga, yang pernah meludah ketika berpapasan dengan dirinya; Senowati, perempuan janda yang begitu ingin dinikahi olehnya meski Ismowati sudah menjadi istrinya. Begitulah prasangka itu diembuskan oleh setan yang menganasir dalam darah Mbah Asemo melalui bisikan dan menyusup ke dalam hati. Namun Mbah Asemo tidak mengumbar syak wasangkanya itu kepada Ismowati, Tris, apalagi Tentrem. Tanpa fakta, Mbah Asemo tidak bisa berbuat apa-apa.

Susah hati Mbah Asemo mencari si pemilik bau tengik itu. Jangankan yang masih tertuduh, pelaku yang jelas-jelas sudah terbukti saja masih bisa berkelit dengan beragam alasan, apalagi bila si pelaku memiliki kekuasaan dan harta benda. Padahal, si lelaki binal itu cuma memiliki bau badan tengik. Namun mencari pemilik bau tengik yang hanya dikenali oleh cuping hidung anaknya itu tidaklah mudah. Tak terbayang bagaimana Tentrem datang ke rumah-rumah orang-orang Taraje yang lelaki dan mencari tengik badannya dengan menciumi mereka. Itu akan menjadi bahan tertawaan dan menghebohkan sedusun bahkan hingga sedukuh dan sekitarnya. Belum lagi, begitu bau tengik itu ditemukan oleh cuping hidung Tentrem, sangat mungkin Tentrem dan dirinya sudah dalam posisi kalah. Tentrem buta. Apa persaksian dari perempuan buta bisa diterima? Dan harus ada empat saksi yang melihat dengan tegas perbuatan si Tengik atas Tentrem.

Pikiran Mbah Asemo laksana memasuki labirin. Dia tidak menemukan jalan keluar untuk membuat Tentrem tetap terjaga marwahnya dan nama baik Mbah Asemo di telinga masyarakat Taraje tetap terjaga dan disegani. Dia bisa saja menyuruh orang dengan membayarnya untuk mencari bajingan itu dan menghadirkan pesakitan itu di hadapannya berdasarkan prasangkanya semata. Demi nama baiknya tetap terjaga, Mbah Asemo mampu melakukan itu semua. Bahkan, dia bisa saja mencari lelaki lugu, naif, bodoh di Dusun Taraje, atau dari dusun lain sekitar Taraje untuk mau menikahi Tentrem dan mengaku sebagai bapak dari janin di dalam perut anaknya. Dia rela kehilangan sehektare dua hektare tanahnya asalkan anaknya memiliki suami dan janin itu berbapak. Namun pada akhirnya, Mbah Asemo pun menyadari, siapa pula lelaki di Dusun Taraje dan dusun sekitarnya yang mau menikahi Tentrem? Tidak ada!

Lihat selengkapnya