Dusun Taraje, tahun 1954.
Kehidupan pernikahan Asemo dan Ismowati terbilang asyik. Dengan mempersunting perawan belia dua puluhan tahun, Ismowati, Asemo bagai menuai semua jerih payahnya dengan membanting tulang mengumpulkan harta sedikit demi sedikit lama-lama menjadi tanah setumbak, dua tumbak, tiga tumbak hingga akhirnya dia memiliki satu hektare tanah pertamanya pada umur tiga puluh limaan tahun. Asyik masyuk mereka berdua meskipun situasi dan kondisi politik belum stabil, dan akan adanya pemilu masih setahunan lagi yang didengarnya melalui radio.
Asemo ulet, giat tak kenal lelah. Semua itu menjadikannya berhasil memiliki satu rumah, satu pedati, satu sapi. Tersebab oleh keuletannya, kegesitannya, kecekatannya, satu sapi itu memiliki kandang dan teman; pedati itu beranak menjadi dua meskipun belum pernah dikawinkan sekalipun. Dan di dalam rumah itu, dia memiliki istri dan Tris, anak pertamanya. Kebahagiaan meliputinya senantiasa.
Sapi dan pedati itu digunakannya untuk mengangkut hasil panen dari tanah-tanahnya yang ditanami padi, palawija, bebuahan ke pasar-pasar. Asemo cukup mempekerjakan seseorang menjadi bajingan pedati. Orang-orang Taraje kebanyakan memburuh kepadanya. Dia memilih bajingan pedati dan buruh tani menggunakan intuisi hati. Jika hatinya mengatakan iya untuk orang yang mencari pekerjaan sebagai bajingan pedati, Asemo menerima orang itu untuk bekerja membajingani pedatinya. Bila tidak, jangan harap orang itu bisa naik ke pedatinya.
Menurut Asemo, Ismowati adalah anugerah terbaik yang Tuhan berikan. Penurut, ayu, tidak neko-neko, manis senyumnya, semampai, pinggulnya lebar, betisnya betis padi, hidungnya tidak bangir—pas dengan mata-telinga-mulut-dahi-pipi pada wajahnya, rajin, masakannya enak, tidurnya lelap, dan satu hal yang Asemo rasakan bahwa dirinya teberkati oleh Tuhan adalah Ismowati mau bersuamikan dia.
Dalam pandangan Ismowati, Asemo yang dikenalnya sebelum menjadi suaminya adalah lelaki tulen meski jejaka ‘tingting’, “tongtong”-nya belum pernah sekalipun di-“tengteng”-kan sehingga menjadi “tungtung”. Ini apa, sih?
“Asemo, panggil saja: As.”