Tris sering terbangun akibat bermimpi buruk. Mimpi buruk itu menyambanginya semenjak Jembut Lestari hadir ke dunia. Dia pernah bermimpi bayi Tentrem bangkit dari kubur sembari menyeringai. Di tangannya ada kapak. Melihat itu, Tris ketakutan setengah mati. Bagaimana mungkin bayi Tentrem dengan tembuninya masih berjuntai-juntai itu melangkah tertatih-tatih berusaha mengejarnya? Dalam mimpinya itu, dia menoleh ke kiri-kanan hendak memastikan dia ada di kuburan, di rumahnya, atau di alam lain. Tris mengalami mimpi itu benar-benar nyata. Tentrem, dari liang kubur yang tiba-tiba meledak dan tanah yang memendam dirinya menghambur tak tentu arah, tubuhnya naik perlahan dan mengambang. Hulu ari-ari bayi Tentrem berasal dari selangkangannya masih berjuntaian. Jarit yang meliputi pinggang, paha, dan betisnya membercak darah. Tentrem membujur kaku dan bersedekap. Kebayanya lusuh. Kepalanya menoleh seketika. Biji mata Tentrem dan Tris sama membelalak ketika bersitatap. Dan bayi Tentrem makin mendekatinya sementara tubuhnya terpaku. Tris pasrah saat tangan mungil bayi Tentrem terangkat hendak mengayunkan kapak di tangan persis di selangkangannya. Dengan kapak itu, dia hendak merobek selangkangan Tris. Tris memejam, menanti-nanti apa yang selanjutnya akan terjadi sambil komat-kamit membaca doa dan wirid yang dihafalnya. Telinga Tris mendengar suara benda ambles bersamaan suara benda terseret. Begitu membuka kelopak matanya dengan sisa keberaniannya, bayi Tentrem berada di bibir liang lahat ibundanya sementara tubuh Tentrem sepertinya sudah melesak ke dalam kuburan yang memendamnya. Sepuluh jemari mungil bayi Tentrem mencakar-cakar tanah merah. Enggan dia mengikuti jejak ibundanya yang sudah terkubur di liang lahat itu. Wajah bayi Tentrem memelas lalu dia berusaha menjerit, menangis sekeras dan sekuat-kuatnya. Namun hening, takada suara bayi Tentrem didengar oleh Tris. Tris pun terlonjak bangun dari tidurnya dengan dahi berpeluh lalu beristigfar.
Tubuh Tris lelah. Lelah juga pikirannya. Mimpi buruk itu bak menjadi nyata, kelihatan lewat biji matanya. Sejak ari-arinya putus, bayi Tentrem anteng. Pada awalnya, Ismowati dan Asemo, begitu juga Tris tidak menganggap bayi Tentrem itu memiliki kelainan. Mereka mengira, antengnya bayi Tentrem itu karena keseringan tidur. Jarang menangis si bayi Tentrem juga mereka anggap biasa saja.
Salah satu dari mereka mulai curiga ketika bayi Tentrem cuek saja ketika hujan deras dan petir sahut-menyahut. Gemuruh suara petir oleh bayi Tentrem dianggapnya angin lalu. Wajah bayi Tentrem anteng; kedua bola matanya memandang genteng kamar tanpa menoleh sekalipun. Dan dia tidak menangis.
“Eh ...,” kata Ismowati kaget. “....” Matanya menjadi awas mengamati cucunya itu.
Petir kembali menggemuruh; bayi Tentrem tetap anteng-anteng saja.
Ismowati melangkah gegas keluar dari kamarnya untuk mencari suaminya. Dia juga menemukan Tris dan Asemo sedang duduk-duduk di pendopo. Petir sekali lagi menggemuruh. Ketiganya melonjak kaget sembari beristigfar.
“Ada apa, Is?” Asemo mengusap-usap dada.
“Ayo ke kamar, Pak.” Ismowati berkata sembari menggenggam pangkal lengan Tris.