Dan atas dasar apa Is memilih Senowati, As tidak ambil peduli. Yang penting, perempuan belia yang baru saja kawin itu bisa bantu mengatasi kesibukan Is merawat kedua anaknya.
Pagi buta, Senowati berkeringat mengayuh sepedanya. Tujuannya adalah rumah megah satu-satunya yang berada di Dusun Taraje. Semburat warna langit pagi dia nikmati selagi dahinya berpeluh sedang kedua kakinya mengayuh sepeda dan pori-pori kulitnya meremang akibat hawa dingin pagi buta.
Majikannya terlihat oleh Senowati ketika sepedanya memasuki gerbang rumah megah itu. Sesudah menyusuri jalan selebar lima meter yang di kiri-kanan terdapat kandang-kandang sapi, pedati-pedati dan dua bendi yang terparkir rapi, Senowati turun dan menyapa Ismowati.
“Selamat pagi juga, Seno.” Senyum Ismowati terlihat selagi tangannya giat menyapu pelataran pendopo rumah dari dedaun flamboyan yang bertebaran.
Batang mangga menjadi sasaran sepeda Senowati bersandar. Dan lekas Senowati menghampiri Is dan mengambil alih pekerjaannya.
Ismowati sekali menatap tajam wajah Senowati sedang senyum pada wajah Senowati membuat majikannya membiarkan sapu lidi di genggaman tangannya berpindah tangan.
Maka, bekerjalah Senowati.
Pencoblosan Pemilu 1955 sudah setahunan berlalu. Meski ada anggapan bahwa keamanan negara belum kondusif ketika diselenggarakannya pemilu lantaran DI/TII mengacau di beberapa daerah, tetapi melalui siaran radio, penyiar berita mengabarkan bahwa Pemilu 1955 terlaksana dengan baik. Orang-orang Taraje manggut-manggut kala mendengarkan penyiar radio memberitakannya lalu refleks bertepuk tangan.
Sebulan sudah Senowati bekerja di keluarga Asemo. Pekerjaannya bertambah tidak hanya sekadar mengurus dan merawat Tris dan Tentrem saja. Segala sesuatu yang diperintahkan majikannya akan dia kerjakan. Baginya selama tenaganya mampu menyelesaikan pekerjaan itu, akan dia penuhi perintah majikannya itu. Dan sesuai harapannya, maka upahnya juga akan bertambah sesuai tenaga yang sudah dia gunakan.
Matahari sudah pergi ketika Senowati memarkirkan sepeda di pekarangan rumahnya. Meski lelah menggurat di wajahnya, Senowati senang karena upah bekerja yang diberi majikan pemilik rumah megah itu lebih dari harapannya. Seluruh badannya seperti ringsek. Namun dia memaksa langkah kakinya untuk tiba ke dalam rumah sederhana peninggalan orang tuanya. Satu helaan panjang lega terdengar bersamaan ketika dia menemukan tubuhnya bisa duduk nyaman bersandar di kursi ruang tamu rumahnya.
Namun kelelahan yang dialami oleh Senowati makin bertumpuk begitu dia menyadari ada secarik kertas terlipat di atas meja ruang tamu. Dia membuka lipatan kertas itu dan membaca satu baris kalimat,
“Aku minggat, Pelacur!”
Senowati menutup mulut menggunakan telapak tangan kirinya yang terbuka. Kertas itu lepas dari cubitan dua jarinya dan jatuh ke lantai ruang tamu rumahnya. Dia menangis sesenggukan.
Lelaki yang menikahi Senowati menganggap keperawanan adalah kesucian awal pernikahan. Namun saat malam pertama mereka berdua, tidak ada bukti bahwa dia berhasil memecahkan keperawanan Senowati. Takada bercak darah, takada perdarahan ringan dari liang vagina Senowati. Dalam temaram kamar remang-remang, suaminya tegas memastikan kepada Senowati bahwa dirinya melakukan itu melalui jalan yang benar. “Di atas jalan yang lurus,” ujarnya seraya bersumpah dengan mengangkat satu telapak tangan kanannya yang terbuka. Suaminya pun kecewa, memendam kekecewaannya dalam-dalam. Senowati pun taktahu harus bagaimana karena lelaki itulah satu-satunya yang baru menjamah lalu menyetubuhinya, bukan pohon mangga.
“Sial!” umpat perempuan bermata sayu itu disela tangisnya.
Kesialan yang menimpa Senowati mungkin bukan sebuah kesialan bila ibu kandung yang begitu menyayanginya tidak mati. Pada suatu masa saat usianya sepuluh tahun, ibunya berhenti bernapas begitu saja. Dia belum mengerti mengapa itu terjadi, pada usianya yang masih getol bermain bersama teman-teman semasa kecil. Mereka bermain menyusuri kali buatan lumayan lebar untuk irigasi persawahan. Di kali itu mereka tertawa-tawa menceburkan dirinya, berenang di air berwarna cokelat yang cukup dalam untuk ukuran anak kecil seperti mereka.
“Gar,” ujar temannya. “Kamu bisa mengambang seperti gedebok, kan?”
Senowati mengangguk sembari tertawa sesudah mengusap air di wajahnya. Dia memang melihat gedebok mengambang tidak jauh dari dirinya usai menyembul dari air kali irigasi. “Ya, bisa, lah, Le.” Dan gedebok yang mengambang mengikuti arus kali irigasi itu kadang kala bergerak-gerak akibat tabrakan arus gerakan tubuh mereka yang berenang di kali.
“Ayo, Rong. Buktikan ..., buktikan,” goda teman yang dipanggil Gar: Jebleh.
“Ini, lihat baik-baik, Bleh, Le.” Garong menelungkupkan badan sesudah mengambil napas panjang. Tubuhnya mulai mengambang (betul-betul-betul) mengikuti arus kali irigasi seakan-akan balapan dengan gedebok yang mengambang di sisinya.
Jebleh dan Tole mengikuti dua yang mengambang itu sambil memberi sorakan dan tertawa gembira. Garong yang mengambang, sayup-sayup mendengar teriakan dan tawa kedua temannya itu. Kaos Senowati kecil mumbul akibat udara terjebak di dalamnya ketika dia mengambang. Celana pendek gombrang yang dipakainya melambai-lambai mengikuti arus kali irigasi.
Garong ingat betul masa kecilnya yang penuh riang dan canda tawa serta bermain bersama teman-temannya senantiasa menghadirkan senyum di lekuk wajah ibunya, menjadi penuh isak tangis pada siang terik saat orang-orang lelaki di dusunnya memendam tubuh ibunya dengan tanah merah. Itu kesialan pertama, menurut Senowati.
“Bapak Garong diculik genderuwo,” ejek anak-anak seusianya.
“Bapak Garong diculik genderuwo,” ejek anak-anak seusianya.
“Bapak Garong diculik genderuwo,” ejek anak-anak seusianya.
“Bapak Garong diculik genderuwo,” ejek anak-anak seusianya.
“Bapak Garong diculik genderuwo,” ejek anak-anak seusianya.
Garong tidak terima ejekan itu dan berkilah bahwa dia akan memastikannya kepada ibunya. Dia merasa yakin bapaknya ada. Karena, bagaimana mungkin dia dan anak-kecil-seusianya itu bisa saling ejek kalau ibu dan bapaknya tidak ada? Bahkan Senowati kecil sempat menarik kerah satu anak lelaki kecil yang mengejeknya berulang-ulang dengan membanting tubuhnya ke tanah. Anak lelaki kecil itu berhenti dari mengejek, kejer menangis dan berlari pulang.
Ejekan itu akhirnya sunyi ketika melihat kegagahan seorang Garong, perempuan bermata sayu, mengalahkan satu anak yang mengejeknya. Jebleh dan Tole datang seperti momentum film India di mana polisi, aparat yang selalu datang ketika urusan hampir selesai. Jebleh dan Tole berlagak dengan menendang-nendang dan menghalau mereka yang mengejek Garong sehingga kocar-kacirlah gerombolan pengejek itu.
Bertiga mereka berjalan saling berangkulan sedang Garong diapit Jebleh dan Tole. Wajah anak perempuan bermata sayu itu masih merah padam. Dua kawan kecil Garong berkata-kata untuk menyejukkan hati sahabatnya.
“Sudahlah, Rong,” ujar Tole. “Jangan diambil hati.”
“Iya,” timpal Jebleh. “Mana ada genderuwo. Kalau pohon Genderuwo, ada.”
Omongan Jebleh membuat mata perempuan bermata sayu itu melotot.