Dusun Taraje, tahun 1992.
Orang-orang di Dusun Taraje sibuk selepas magrib. Sebagaimana tradisi gotong-royong yang mendarah daging di dusun itu, mereka membantu persiapan pernikahan anak Diasem janda Waemok, yakni Semi. Yang lelaki mempersiapkan tenda, menata kursi, memasang janur kuning di gapura dusun. Segala hal yang membutuhkan tenaga, dilakukan oleh orang-orang lelaki Dusun Taraje. Sementara itu, orang-orang perempuan Taraje saling membantu dengan mempersiapkan kebutuhan sajian makan-minum prasmanan selesai akad nikah yang sedianya akan dilaksanakan esok pagi. Wangi dupa sesajen di penjuru rumah Diasem menyatu dengan asap dapur yang menguarkan berbagai jenis wangi rempah-rempah bahan masakan dan minuman.
Di antara para perempuan itu, Tris ikut andil membantu persiapan perhelatan Semi.
“Tris, calon si Semi itu orang mana?”
“Dengar-dengar, sih, laki-laki Dukuh Tinggi, Nung.”
“Siapa namanya?”
“Su ..., su ..., su ....”
“Sumarno!” Diasem tiba-tiba muncul di pintu dapur, berseru seraya tersenyum menggenapi Tris yang terbata-bata menyebut nama calon suami Semi.
Meskipun sejak lahir ke dunia hingga menjadi gadis belia ayu semlohai ‘semok-longah-longah (tinggi berleher jenjang)-aduhai’, Semi terlambat untuk melihat Waemok, bapaknya. Waemok sudah mati duluan ketika cikal bakal dia mungkin baru menempel di dinding rahim Diasem dan belum patut diberikan nama. Begitu memiliki kesadaran bahwa dia adalah perempuan, ibunya hanya menunjukkan foto berpigura lusuh Waemok berwarna hitam putih di satu dinding ruangan rumahnya seraya berkata, “Itu bapakmu, Sem.”
Semi hanya mampu terpaku melihat foto itu. Tidak ada sesuatu pun ingatan berupa kenangan yang melintas ketika melihat foto Waemok. Suwung.
Keesokan pagi, sekira pukul 08.00 Semi terlihat makin ayu dengan gaun pengantin berwarna putih berenda yang meliputi kulit sawo matangnya. Di sisinya ada calon suaminya, Sumarno berpakaian rapi serbaputih. Kedua mempelai itu duduk sabar menanti penghulu tiba.
Suasana tegang dialami oleh kedua mempelai ketika terdengar dari tenda tamu ada beberapa orang yang berteriak, “Penghulunya sudah datang ....
“Penghulu datang ....
“Penghulu datang.”
Senyum tipis tampak dari wajah penghulu yang berjalan sembari memberi salam.
“Waalaikumsalam,” jawab para hadirin.
Dan penghulu itu pun sudah berada di tempat yang sudah dipersiapkan.
“Sehat, Pak Ratno?” Pertanyaan basa-basi keluar dari mulut Pak Anom kepada si penghulu yang dulu pernah menikahkan anak lelakinya dengan janda dusun sebelah.
“Alhamdulillaah, sehat, Pak Anom,” jawab si penghulu seraya melirik kepada kedua mempelai dan tersenyum tipis.
“Saya periksa dulu ya kelengkapan berkas-berkasnya,” ujar Pak Ratno. Hal ini biasa dilakukannya meski sebenarnya berkas-berkas itu biasanya sudah lengkap.
Sumarno dan Semi mengangguk masih dengan wajah tegang. Kedua mata mereka berdua awas mengamati lembaran berkas-berkas perkawinan mereka yang sedang diperiksa Pak Ratno.
Pak Ratno merapikan berkas-berkas itu, dan bertanya, “Siapa bapak dari mempelai wanita?” Empat jemarinya yang kanan mengelus kopiah hitam yang bertengger di kepalanya.