Tentrem harus mengalah kepada Tris. Tadinya dia ingin menghadiri resepsi pernikahan anak Diasem bersama-sama kakaknya. Resepsi pernikahan Sumarno-Semi pada hari Minggu itu dihadirinya bersama anaknya. Tris berhalangan hadir akibat badannya meriang selesai membantu perhelatan itu di bagian dapur.
Dengan naik becak Pak Acang, ibu-anak itu duduk bersisian. Becak dikayuh Pak Acang dengan sekuat kedua betis kakinya. Kadang tubuhnya berdiri seperti melonjak-lonjak ketika mengayuh pedal becak. Jalan Dusun Taraje kebanyakan masih berupa tanah. Tanah beraspal hanya ada di beberapa bagian jalan saja, itu pun masih banyak yang berlobang. Kadang kala mereka bertiga berpapasan dengan sapi pedati yang mengangkut barang hasil bumi. Sapi itu melenguh seolah-olah menyapa Pak Acang yang ngos-ngosan mengayuh pedal becaknya. Ibu-anak itu kebagian disapa dengan sopan oleh bajingan pedati. Mbah Asemo-lah yang menjadikan mereka berdua disapa ramah oleh bajingan pedati. Jembut-Tentrem hanya menyunggingkan senyum tipis kepada bajingan pedati yang menyapanya.
“Pak, kalau bapak lelah, istirahat dulu saja, ya, Pak Acang.” Tentrem merasa kasihan kepada Pak Acang setelah mendengar suara ngos-ngosan di telinganya.
Selagi berbicara dengan Pak Acang, telapak tangannya yang kanan mengelus-elus rambut anaknya. Sang anak segera mencari wajah ibunya, lalu tersenyum lebar. Anak itu merasakan ketenteraman dan kasih sayang Tentrem melalui elusan lembut di rambut kepalanya.
“Tanggung, Trem, itu tenda resepsinya sudah kelihatan.”
Tentrem tak lagi berbicara hingga becak itu berhenti dan ditunggingkan oleh Pak Acang untuk memudahkan mereka berdua turun dari becak. Pak Acang tersenyum dan berterima kasih kepada Tentrem di depan tenda resepsi pernikahan Sumarno-Semi seraya memasukkan selembar uang ke dalam saku bajunya. Sekali dia mengelap dahi, becaknya berbalik arah untuk mencari penumpang lain.
Anak Tentrem dengan wajah cerah mengedarkan pandangan. Dia melihat janur kuning berdiri melengkung, tiang-tiang tenda yang diselimuti kain putih dan dipilin sedemikian rupa sehingga elok dipandang. Dia memutar badannya sejenak agak ke belakang berikut wajahnya. Hamparan sawah menguning tampak jelas olehnya. Sebentar saja dia melihat sawah itu lalu kembali melihat orang-orang Taraje yang berlalu-lalang di dalam tenda resepsi. Kursi-kursi tamu sebagian sudah mulai diduduki tamu undangan. Sebagian dari mereka yang baru saja datang, berjalan menuju pelaminan untuk memberi ucapan selamat kepada kedua mempelai dan sahibulhajat. Sebagian tamu undangan berbaris antre mengambil makanan prasmanan. Tentrem terpaku memeluk anaknya dari belakang. Anak itu masih mengamati sekelilingnya dengan jeli.
Tentrem mengelus-elus Jembut, dan mencolek bahunya. Anak itu mengerti dan berjalan sementara Tentrem melangkah dengan kedua telapak tangannya bertelekan di bahu anaknya. Anak itu mengantarkan Tentrem ke pelaminan Sumarno-Semi. Selesai mereka bersalaman dan Tentrem memberikan salam tempel, mereka berdua menuju kursi tamu dan duduk di sana.
Anak Tentrem mencari wajah ibundanya, menunggu-nunggu.
“But ...,” ujar Tentrem, “..., ambil makanan, sana.”