Anak Tentrem

Andriyana
Chapter #12

Bab 11

Pasar Tanggul pengap. Orang-orang tumpah ruah. Los-los sepetak dikerubungi pembeli. Langkah kaki pengunjung pasar tidak leluasa, merayap menyusuri lorong-lorong pasar. Sinar matahari pukul 10.00 tidak sepenuhnya sampai ke tanah Pasar Tanggul karena terhalang oleh atap seng. Kebanyakan sinar itu hanya menitik-nitikinya, bundar seukuran gundu, bola kasti; berbentuk persegi empat tiga kali 3 sentimeter, atau agak besar. Oksigen sepertinya mengantre pula untuk masuk ke dalam paru-paru orang-orang di Pasar Tanggul.

Di parkiran Pasar Tanggul, Pak Acang baru saja menunggingkan becaknya untuk menurunkan penumpang. Dia menepuk-nepuk sadelnya dan tersenyum sedang penyewa becaknya sudah pergi. Dahinya sekali terseka oleh handuk kecil yang setia melingkari pundak sebelum dia memundurkan becak. Selesai dia memarkirkan rapi becaknya di antara becak-becak pebecak, dia naik dan duduk di kursi penumpang becaknya.

Satu lenguhan sapi pedati melintas dengan bajingan pedati berdecak-decak. Tangan kanan bajingan pedati itu melambai-lambai. Pak Acang menyambut lambaian si bajingan pedati yang pedatinya mengangkut berkarung-karung gabah. Penuh sesak isi pedatinya. Selesai melambai, becaknya didatangi seseorang. Namun Pak Acang tak acuh dan membiarkan pantat orang itu duduk di pijakan kaki becak.

“Dari mana, Endus?” tanya Pak Acang diiringi tawa kecil seperti menggoda. Nada suaranya ketika menyebut Endus itu ditingkahi dengan anggukan kepalanya yang mirip Cepot, si Wayang Golek yang melegenda humoris dan kocaknya.

Endus tak menyahut. Hanya saja, tubuhnya condong ke kiri-kanan berayun-ayun selagi matanya sekali melirik wajah Pak Acang yang tertawa kecil dan menggodanya.

Satu suara lain dari becak yang parkir bersebelahan dengan becak Pak Acang juga menggoda Endus. Dengan mimik wajah terlipat dan jerawat batu bertebaran, dapat dipastikan Endus belum mendapatkan upah mingguannya dari Dukemeng, si Kaduk ‘Kepala Dukuh’. Majikannya, Dukemeng, memang dikenal pelupa untuk mengupah Endus.

“Besok-besok, kamu ingatkan Pak Dukemeng,” saran Pak Acang.

“Iya. Supaya kamu, Ndus, cerah wajahnya. Enggak merengut seperti sekarang ini,” timpal rekan pebecak Pak Acang. Dia asyik duduk dengan melipat kedua kakinya di jok becak miliknya.

“Eh, Wondo, cerah atau enggak, wajah Endus ini memang sudah dari lahir begini.”

Wondo, rekan pebecak Pak Acang, tertawa sekali disertai tubuhnya juga sekali terlonjak.

Lihat selengkapnya