Orang-orang Taraje berduyun-duyun mengarak seorang lelaki selepas matahari hendak tenggelam dan gelap belum menelan seluruh warna langit. Kedua pergelangan tangan lelaki itu terikat dengan erat persis di tengkuknya. Dan tali seukuran ibu jari orang dewasa juga mengikat erat leher dan kedua pergelangannya yang terikat di tengkuknya. Di sela kedua siku lengannya yang terbuka, masuk satu bambu sepanjang lima meter. Masing-masing ujung bambu itu dipegang oleh satu orang Taraje. Dengan bambu itu, dua orang itu menggiring si lelaki. Kemarahan jelas tampak dari wajah mereka.
Tua-muda, lelaki-perempuan, bahkan bayi di gendongan ibunya pun ikut mengarak seorang lelaki yang bertelanjang bulat itu. Begitu menyadari bahwa tidak ada sehelai benang pun di tubuh si lelaki, perempuan itu menutupi wajah bayinya dengan kain gendongan. Bayinya gelagapan. Dia mengalah dengan mengikuti arak-arakan di urutan bontot. Perempuan itu tetap melangkah sambil mengangkat kain yang menutupi wajah bayinya sementara wajahnya juga jelas menampakkan kebencian kepada lelaki bugil itu.
Hampir saja orang-orang Taraje melemparinya dengan benda apa saja yang ada di sepanjang jalan mereka mengarak lelaki terikat itu menuju pendopo Dusun Taraje. Seseorang kemudian berteriak di kerumunan untuk jangan main hakim sendiri sebelum mereka sampai di pendopo dusun mereka sehingga benar-benar terbukti bila lelaki itu adalah pelakunya.
Sementara itu, di kamar Tentrem, Ismowati meminta Tris memberitahu Jembut Lestari untuk membuka celana dalamnya yang diliputi jarit.
“Suruh dia berbaring, Tris,” pintanya lagi. “Buka selangkangannya.”
Tris memegang bahu Jembut Lestari seperti memeluk, lalu mengarahkan keponakannya itu ke bibir kasur. Sebelum Tris memelorotkan seluruh jarit dan celana dalam yang dipakai Jembut, keponakannya itu menunjuk pintu kamar ibundanya yang masih terbuka. Tris dan Ismowati pun menoleh dan paham apa yang dimaksud Jembut. Ismowati memenuhi apa yang dipinta oleh cucunya itu. Dia kembali sesudah pintu itu terkunci rapat.
Pinggang hingga ujung kaki Jembut Lestari tanpa sehelai benang. Secara perlahan, Tris memutar tubuh keponakannya hingga nyaman berbaring. Selangkangan Jembut berada di bibir kasur. Meski menurut, anak Tentrem itu merasa risi dengan merapatkan kedua paha untuk menutupi selangkangannya. Sembari tersenyum kepada keponakannya, Tris memegang kedua lutut anak Tentrem, memisahkan kedua lutut yang sedari tadi rapat menjadi melebar secara perlahan-lahan. Jembut Lestari diam dengan tetap menuruti apa yang diinginkan oleh Tris. Selangkangan Jembut terlihat dalam temaram kamar Tentrem.
Ismowati sempat gugup, gelagapan sembari berjalan ke sana kemari di dalam kamar Tentrem seperti mencari-cari sesuatu.
Tris bertanya, “Cari apa, Bu?”
“Senter!”
“Di laci lemari.”
Ismowati gemetaran tangannya ketika menarik laci lemari. Senter itu dia temukan walau tangannya masih gemetaran.
Tubuh Ismowati berada di sisi selangkangan cucunya yang terbuka lebar. Jempolnya menghidupkan senter, tetapi senter itu tetap belum menyala. Dengan kesal dia memukul batang senter itu sekali, barulah senter itu mau menyala. Tris cemas menunggu sambil berdiri tepat di depan selangkangan keponakannya yang terbuka lebar.
Jemari kiri Ismowati berada di selangkangan cucunya sedang jemari kanannya menggenggam senter agar cahayanya tepat menerangi selangkangan Jembut yang sedang dia periksa.
“Bolong, Bu?”
Ismowati mengangguk dengan ekspresi yang susah dijelaskan oleh kosakata. Wajahnya lalu lesu. Dan Tris pun menangis.
“Cepat susul bapakmu. Bilang, ‘Jangan mengebiri orang itu!’”
Sempat Tris terdiam sebab masih terisak-isak. Namun Tris cepat berlari. Pintu kamar Tentrem yang terkunci terbuka ngablak. Karena melihat pergerakan cepat tubuh Tris, Jembut Lestari bangkit dari telentang dan mencari celana dalam juga jaritnya lalu mengenakannya dengan terburu-buru. Anak Tentrem itu jelas kebingungan.
Semasih berdiri kebingungan melihat Tris yang berlari gegas keluar dari kamar ibundanya, Ismowati merengkuh Jembut Lestari, cucunya, ke dalam pelukannya. Erat sekali dia memeluk anak Tentrem sebagaimana dahulu dia memeluk Tentrem dengan haru ketika anaknya itu mengabarkan bahwa dia hamil.
Tris memang gegas berlari mencari suaminya. Sawargi sedang duduk menikmati kopinya di pendopo rumah. Di depan Sawargi, Tris berkata terbata-bata,
“Mas, bilang, ‘Jangan dikebiri orang itu’, Mas.”
Sawargi pun gugup. “Siapa yang akan dikebiri?”
Tris mencari cara cepat untuk menjelaskan perkara ‘kebiri’ itu. Sambil menelan ludah karena pikirannya ternyata buntu, dia berujar, “Bilang saja, ini pesan dari Ibu.” Tangan kanannya terangkat dengan satu telunjuk menegak bergerak-gerak seperti guru tengah memberi pengajaran di depan murid. Lagi dia berkata, “Sampaikan ke Bapak!”
Selagi Sawargi masih berusaha menangkap apa maksud Tris yang berkata tergagap-gagap, pelan-pelan dia mulai bisa mengerti apa maksud istrinya ketika menyuruhnya segera pergi ke pendopo Dusun Taraje.
Selagi Sawargi bergegas menuju bendi dan menaikinya lantas menghela kuda penarik bendi untuk mencelat berlari cepat, di pendopo Dusun Taraje, ramai sudah orang-orang menunggu kehadiran lelaki bugil itu. Sudah pula menunggu Dukemeng, Mbah Asemo, juga Tentrem. Wajah sang Kaduk terlihat tegang. Dia melihat tiga orang berpakaian serbaputih berdiri serbasalah bersisian. Mereka bertiga juga menanti-nanti kedatangan arak-arakan itu. Di gapura pendopo belum juga terlihat arak-arakan itu datang meski sorak-semarainya sayup-sayup sudah terdengar oleh Dukemeng. Mungkin Dukemeng salah sensasi. Telinganya menafsirkan orang-orang Taraje yang mengumpat itu adalah teriakan gembira padahal bukan.
Arak-arakan itu memasuki gerbang pendopo Dusun Taraje sekira tiga menit sesudah telinga Dukemeng mengalami salah sensasi.
Orang itu makin kelihatan ketakutan dan malu. Sebegitu banyak orang-orang berkerumun di pendopo itu. Dia merasa akan mati, dia merasa akan kesakitan. Matanya nanar melihat selingkungannya tempat dia digiring menuju bibir pendopo Dusun Taraje.
Dukemeng, Mbah Asemo, Tentrem persis berdiri berhadapan dengan lelaki pesakitan yang bugil dilihat kerumunan orang-orang Taraje.
“Ini perlu pidato sambutan dulu, Mbah?”
Mbah Asemo menggeleng dengan agak jengkel sembari sorot matanya tak lepas menatap tajam lelaki yang bugil itu.
Tentrem yang berdiri diam, telinganya dihampiri oleh mulut Mbah Asemo yang membisikinya sesuatu. Kemudian dia meminta tolong Dukemeng menemani anaknya itu untuk turun dari bibir pendopo dan mendekati orang yang bugil itu.
Di hadapan lelaki bugil itu, Tentrem bukan hanya mual, anak Asemo itu pun muntah.
“Jelas sudah si Bajingan Tengik itu. Dialah Marto Petet.”