Mbah Asemo menua dengan menghabiskan sebagian besar waktu hidupnya untuk melenyapkan penasarannya. Kepenatan pikiran dan lelah tubuhnya selama bertahun-tahun tidak dia pedulikan demi penasarannya lenyap. Dan agar dia tidak mati penasaran.
Tubuhnya ringkih, kerentaan dan bertubi-tubi penyakit mulai menyerang Mbah Asemo. Namun ketegaran tetap tampak dari wajah berhidung bangir itu. Meski hari-harinya kebanyakan berbaring di tempat tidurnya, dia tetap tersenyum bila dikunjungi cucunya yang gemar cengengesan, atau menggenggam jemari Tentrem yang biasa duduk di bibir kasur dekat bahunya setiap sore. Kepada dua orang keturunannya itu, dia seperti ingin menghabiskan semua cinta dan kasih sayang yang masih dimilikinya sehingga hatinya benar-benar kosong. Dan kepada Is, istri semata wayangnya, takada kosakata yang mampu terucap melalui bibirnya bila Is dengan lemah lembut membelai dahinya. Hanya membinar kedua bola mata Mbah Asemo.
Beruraian air mata Mbah Asemo ketika bayi Jembut Lestari berada di hadapannya, di dekapan istrinya. Wajah tirus Mbah Asemo terangguk-angguk. Itu bayi lelaki Jembut Lestari. Memejam mata Mbah Asemo. Kelaminnya itu lelaki. Tersenyum wajah Mbah Asemo beruraian air mata. Akhirnya, di keluarganya memiliki keturunan lelaki walau ruwet cara menasabkannya.
Hari-hari senja Mbah Asemo seakan-akan berubah laksana pagi yang hangat sinar mataharinya menyehatkan kulit keriputnya, tubuh ringkihnya. Bagai pemuda, dahinya berkeringat, tubuhnya bergetar ketika menggendong bayi lelaki Jembut Lestari pada waktu pagi yang hangat di pelataran pendopo rumah. Dia duduk sambil lirih menembang.
Jangan ramai-ramai, nenek sedang tidur.
Tidur di taman sore-sore mengajak bermain.