Gerimis dan gelap di Dusun Taraje ketika Endus malam itu menyusuri jalan setapak dusunnya. Pembangunan di Era Orde Baru sudah membuat dusunnya banyak berubah. Dari sebelumnya tanah merah, jalan setapak dusunnya sudah dilapisi paving block. Endus cukup jelas melihat heksagonal paving block yang menjadi alas kakinya melangkah karena cahaya lampu jalan yang boleh dibilang cukup terang ketimbang dulu saat masa kecil dia berpapasan dan mengenali orang sedusunnya dari warna suaranya. Di bahu kiri, sekardus oleh-oleh dipanggulnya sedang tas punggungnya penuh dan tangan kanannya masih pula menenteng barang bawaan. Di saku belakang celananya yang kanan terlihat menonjol, sedangkan saku belakang celananya yang kiri menyembul obat ganteng, alias sisir rambut.
Ketika hendak berbelok, Endus disapa oleh Pak Anom. Dalam sekali pandang, rumah Endus bakal terlihat. Dan Endus balik bertanya,
“Gerimis begini mau ke mana, Pak?”
“Tahlilan, Ndus.”
“Di mana?”
“Di dua tempat,” jawab Pak Anom yang bersegera menutup obrolannya karena gerimis dari langit lambat laun menderas. “Saya duluan, ya.” Payung yang sedari tadi mengembang menaungi tubuh Pak Anom menjauhi Endus yang tersenyum tipis dan mengiya.
Endus pun berlari tergopoh-gopoh menuju rumahnya diburu rintik hujan.
Rumah megah keluarga Asemo pun tak luput dari rintik hujan yang membuat seluruh atapnya basah. Tetesan air hujan gencar turun melalui ujung tepian genteng pendopo rumah selagi orang-orang lelaki Taraje saling bersalaman usai tahlilan. Di tangan mereka masing-masing tergenggam seplastik makanan mentah maupun matang yang merupakan bagian dari tradisi di Taraje.
Sawargi sebagai tuan rumah, meski raut wajahnya bersedih dan kecapaian, masih berusaha menjabat tangan mereka satu per satu dan mengucapkan terima kasih. Sebagian besar orang-orang Taraje langsung pulang walau hujan cukup deras karena mereka sudah sedia payung sebelum hujan.
Pak Anom tersenyum simpul kepada Sawargi ketika bersalaman.
“Terima kasih, Pak, atas kehadirannya.”
“Sama-sama, Nak Sawargi.”
Mereka berdua tidak lantas melepaskan jabat tangan, melainkan masih berbasa-basi dengan bertanya-jawab hal ini-itu. Hingga Pak Anom bercerita tentang Endus yang baru saja pulang dari kota malam itu, Sawargi menimpalinya dengan bertanya,
“Endus?
“Endus yang mana, ya?”
“Itu .... Endus anak Sudne. Bapaknya suka sekali mencari ikan,” jawab Pak Anom.
Pak Anom pun menceritakan lagi tentang repotnya Endus membawa segala macam barang sepulangnya dari merantau.
“O ..., dia merantau?”
“Iya, Nak. Kurang lebih hampir setahun, lah, kira-kira.”
Tangan kiri Sawargi memegang ujung telinga. “O ... iya, iya, iya.” Lantas memegang dagu.
“Saya pamit, Nak.” Pak Anom melepaskan telapak tangannya dari Sawargi lalu mengucapkan salam.
“Waalaikumussalam.”
Sawargi pun melanjutkan bersalaman dengan orang-orang lelaki Taraje lainnya hingga pendopo rumah itu kosong dan jelas terdengar suara rintik hujan yang jatuh dari tepian genteng pendopo rumah keluarga Asemo.
Keesokan pagi, baru saja Tris meletakkan segelas kopi di atas nakas, suaminya yang sudah bangun, mandi, dan sedang berpakaian bertanya ihwal Endus. Begitu Tris menerangkan bagaimana jerawat batunya sembarangan bertebaran di wajah Endus, Sawargi baru bisa mengingat satu orang Taraje yang setahunan menghilang dari dusunnya itu. Suami Tris pun mengungkapkan kecurigaannya. Kepada istrinya, Sawargi berujar,