Anak Tentrem

Andriyana
Chapter #24

Bab 23

Wondo boleh jadi masih beruntung dapat menghirup oksigen hingga terengah-engah ketika membecak, menguli, memaculi tanah merah, membajak sawah dan mengipas-ngipas sate di bakarannya mengingat masa oroknya yang hampir sekarat di muka rumah Dudung Gembrot. Istri Dege ‘Dudung Gembrot’, Ani Ceking ‘Aing’ jam tiga subuh terbangun waktu itu. Mata Aing terbuka perlahan-lahan sedang pendengarannya menajam. Kemudian matanya menyipit selagi telinganya memastikan bahwa sayup-sayup suara yang dia dengar ialah bukan suara makhluk halus. Aing menggoyang-goyangkan tubuh Dege, tetapi suaminya itu tidak bereaksi. Sesudah Aing membekap suaminya, barulah Dege tersadar dan menggeliat. Dia bertanya dengan raut wajah kesal,

“Kenapa, sih, Ai?”

“Kau dengar itu?” Aing bertanya sedang satu telunjuknya tegak menunjuk dinding rumah mereka yang berbahan anyaman bambu.

Sayup-sayup suara itu kembali terdengar.

Dege berkedip-kedip sembari menajamkan pendengarannya.

“E ... seperti suara anak kucing? Suara anak anjing? Suara anak ayam?”

“Suara anak orang?”

Dengan sigap Aing bangun dari tempat tidur sedang Dege susah payah untuk duduk di pinggir tempat tidur. Aing merapikan kebayanya, jaritnya dengan menepuk-nepuk tubuhnya. Dege langsung melangkah penuh waspada. Tubuh Aing yang ceking berlindung di belakang tubuh suaminya yang gembrot. Mereka menghampiri asal suara.

Selangkah demi selangkah mereka berjinjit menapaki tanah merah rumah mereka hingga sampailah di pintu mereka biasa keluar masuk rumah. Makin jelas suara itu didengar oleh telinga mereka berdua.

“Bukan suara anak anjing.”

“Bukan suara anak kucing.”

“Bukan suara anak ayam.”

Dege memastikannya lagi dengan mengintip lewat celah daun pintu rumahnya. Jelas sekali melalui celah itu satu bola mata Dege bergerak ke kanan, ke kiri, ke atas, ke bawah. Dan Dege menjauhkan wajahnya dari daun pintu. Satu tangannya menarik daun pintu rumah.

Menderit daun pintu rumah mereka begitu terbuka perlahan-lahan.

Wajah Dege terperangah bukan kepalang. “Astaga!” Wajah Aing tercengang.

Pasangan mandul itu mendapatkan bayi mungil diliputi jarit di atas tampah berselimutkan daun pisang menggeliat dan sesekali menangis di beranda rumah mereka.

Sungguh tega sekali! Bayi mungil tidak bersalah subuh-subuh jam tiga sudah harus kedinginan di muka rumah Aing-Dege. Namun ketegaan ibu-bapak bayi itu adalah kebahagiaan buat pasangan itu. Semasih celingukan dan ragu kalau-kalau bayi itu adalah bayi jadi-jadian, Aing memberanikan diri dengan bersimpuh untuk menggendong bayi itu. Bayi itu hangat. Dalam dekapannya, bayi itu merasa nyaman. Dege tertawa senang sembari memungut tampah dan membawanya masuk ke dalam rumah bersama Aing yang masih terharu dan bahagia bisa memiliki anak yang berasal dari tampah berdaun pisang di beranda rumah mereka.

Tiga jam sebelumnya, Senowati berusaha bangkit dari merebah usai persalinan yang dibantu oleh dukun bayi di dusunnya.

“Bu, berikan bayi ini kepada orang yang membutuhkannya.” Senowati meminta bantuan sang dukun bayi seraya memberikan uang yang kiranya lebih dari cukup.

Sang dukun bayi tangannya terangsur menerima uang itu lalu sekali mengangguk dan tersenyum serta mempersiapkan apa yang diinginkan ibu kandung si bayi. Dia memutuskan tampah berdaun pisang sebagai alas bayi yang sudah dibungkus jarit, dan kediaman pasangan mandul di dusun tetangga menjadi orang yang membutuhkan akan bayi yang rupanya juga memiliki kelopak mata sayu seperti ibu kandungnya.

Bila teringat sekalimat tulisan: aku minggat, Pelacur!, Senowati hanya mengingat kepedihan yang dia rasakan dan rasa sakit yang menghunjam hatinya sehingga perempuan bermata sayu itu benar-benar menjadi pelacur. Puluhan lebih lelaki sudah merasakan kenikmatan dirinya sebagai perempuan pelacur. Pelanggan-pelanggan yang sudah mengetahui ke-makjleb-an Garong ketika bercinta bakal sudi mendatanginya lagi. Walau dengan bayaran beberapa tandan pisang, lima karung beras, cincin kawin istri yang diambil tanpa sepengetahuan si empunya, tiga karung buah mangga, kalung emas, Senowati menerima itu semua dengan lapang dada. Ada kepuasan tersendiri ketika lelaki-lelaki itu bertekuk lutut dan mengakui kehebatan Garong ketika bercinta. Perempuan bermata sayu itu menyeringai, tertawa puas melihat kelakuan lelaki-lelaki yang sudah takluk kepadanya.

Tidak ada yang tahu apakah itu merupakan nasib baik atau bukan saat Senowati bertemu dengan Diasem, perempuan yang dikenal sebagai pengepul bukan hasil bumi, melainkan perempuan-perempuan penjaja syahwat. Dari perkenalan itu, Senowati yang tersingkirkan dari rumah megah keluarga Asemo dan merasa bahwa hidupnya sudah hancur lebur untuk kedua kalinya beserta harapan dan impiannya, seakan-akan mendapat pencerahan melalui kata-kata Diasem yang dibalut senyuman. Senowati yang terpuruk, dan Diasem mau mengulurkan tangannya untuk membantunya bangkit menyongsong masa depan, membuatnya mampu berdiri di atas kakinya sendiri bahkan mampu menaklukkan lelaki-lelaki pemboros pengumbar syahwat. Dengan menjadi pelacur, percaya diri Senowati muncul. Dia menganggap bahwa menjadi pelacur adalah jalan (ninja) nasibnya yang tergurat di telapak tangannya. Bahkan dia kadang kala tersenyum sendiri sambil menggumam, “Kalau saja Lelaki yang Bolak-Balik Lima Kali di Atas Jalan yang Lurus itu tidak menuliskan Pelacur dan minggat, tentu aku tidak akan merasa sepercaya diri seperti sekarang ini.” Senyuman tipis yang terbentuk di wajahnya itu mampu membuat lelaki-lelaki menjadi belingsatan.

Diasem menganggap Senowati adalah bak perempuan emas yang berhasil ditemukannya di antara barang-barang bekas tak berguna. Berkat Senowati, pundi-pundi uangnya makin banyak. Laris manis tanjung kimpul, Senowati digoyang habis duit kumpul.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun, hubungan bisnis antara Diasem dan Senowati tetap berjalan dengan baik. Hingga satu malam, Garong mendapat pelanggan baru. Lelaki itu mulai berduaan di kamar bersama Garong. Dalam temaram kamar, Senowati mengumpat pelan, bahkan umpatannya hanya terdengar bagai desisan. Jelas sekali melalui kedua bola mata perempuan bermata sayu itu bahwa lelaki yang sedang dia layani hingga lunglai adalah si Lelaki yang Berada di Atas Jalan yang Lurus Bolak-Balik Lima Kali.

“Cih, belum ada semenit sudah keluar,” gumamnya pelan hampir mendesis.

Si lelaki itu masih tersengal-sengal di sisi Garong.

Sampai lelaki itu berpakaian lalu keluar dari kamar Garong dan membayar jasa syahwat kurang dari semenit, lelaki itu tetap tidak mengenalinya. Memang penampilan Senowati dulu dan saat menjadi pelacur berbeda jauh. Jadi wajarlah jika lelaki itu tidak mengenalinya lagi walau Senowati tetap masih mengenali lelaki itu, mengenali rasa sakit yang menghunjam dada Garong.

Namun sialnya, Senowati muntah-muntah dan hamil dari perbuatan ‘kurang dari semenit’ itu. Senowati menganggapnya itu kesialan kelima. Meski demikian, janin itu dibiarkan berada dalam perutnya dan Garong tetap melayani para pelanggan setianya hingga dia melahirkan bayi lelaki dan dukun bayi meletakkan bayi itu di beranda rumah pasangan mandul Dege-Aing pada waktu jam tiga dini hari.

Dibesarkan Aing-Dege yang miskin gagal kaya, Wondo kecil cukup sengsara. Dege yang sehari-hari berdagang sate kikil yang dipikulnya sekuat betisnya berkeliling menjelajah beberapa dusun, hasil berdagangnya tidak menjadikan Wondo segemuk bapak angkatnya. Padahal, Aing rutin memberikan Wondo air tajin sebab payudara Aing yang ceking tidak berisi susu. Air tajin pengganti susu dinikmati Wondo hingga akhirnya dia mampu makan singkong rebus, tiwul, ubi rebus.

Oleh tetangga kiri-kanan-depan-belakang rumah Aing-Dege, Wondo dianggap hadiah dari Tuhan untuk Dege dan Aing. Mereka berbondong-bondong memberi ucapan selamat atas kehadiran anak yang berasal dari tampah berdaun pisang itu. Dengan terharu, Aing-Dege menerima semua ucapan selamat itu dengan mengadakan syukuran ala kadarnya, diisi doa untuk kebaikan Wondo beserta Dege-Aing yang dipimpin sesepuh dusun, dan diakhiri makan bersama berupa sate kikil racikan Dege dengan segelas teh hangat.

Kehangatan Aing-Dege dalam merawat dan membesarkan Wondo tidak membuat anak pungut itu lincah dan cekatan. Mata sayunya, mulutnya yang terbata-bata ketika mengucapkan kalimat dan gerak tubuhnya yang lamban membuat Wondo jadi bahan celaan dan tertawaan tetangga-tetangganya.

“Wah, hadiahnya ternyata rusak di perjalanan.”

“Sudah pula rusak, ada yang ketinggalan juga.”

“Ketinggalan di mana, ya?”

“Di Hutan Larangan.”

“Apa itu yang ketinggalan?”

“Otaknya!”

Tetangga-tetangga Aing-Dege puas sekali menertawakan dan mencela Wondo. Aing yang mendengar semuanya hanya bisa mendengkus dan menyimpan semua kedongkolannya dalam hati sementara Dege mungkin hanya berdenging telinganya ketika memikul dagangan sate kikil berkeliling entah di mana.

Di rumah Aing Dege yang berdindingkan anyaman bambu dan atap rumbia, dengan tempat tidur berbahan dasar batang bilah bambu yang dianyam, dan satu meja beserta dua bangku reyot, serta dapur satu tungku dan dua tumpuk kayu bakar, Wondo hanya mendapatkan satu kamar dadakan. Disebut dadakan karena kamar itu dibuat sejak Wondo “dihadiahkan” kepada pasangan mandul itu subuh jam 3. Satu tali terkait kencang pada dua dinding anyaman bambu dan satu kain panjang yang dua ujungnya mengait pada tali itu membuat satu area rumahnya menjadi kamar dadakan buat Wondo. Di balik kain panjang yang menutupi satu area itu, satu tikar terhampar dilapisi kain jarit terhampar dan berlapik tilam kapuk tipis, satu bantal, satu guling. Sedari bayi hingga bangkotan, Wondo tidur di kamar itu.

Wondo kecil sering sakit-sakitan dan sering ingusan akibat kurang gizi. Makanan paling bergizi yang didapatkannya adalah sate kikil Dege. Wondo beruntung bila Dege pulang keliling dan masih ada sisa dagangannya yang belum terjual, sate kikil itu akan menjadi makan malamnya. Selain itu, makanan dari acara syukuran, tahlilan, selamatan tetangga menjadi alternatif makanan bergizi yang tidak dapat dipastikan kapan Wondo bakal mendapatkannya. Tubuh kurus, mata sayu, bicara tergagap-gagap, ingusan pula; semua itu membuat Wondo menjadi sasaran celaan dan bahan tertawaan kawan-kawan sepermainannya. Namun Wondo tak pernah membalas. Lagi pula, bagaimana dia hendak membalas celaan kawan-kawannya yang bertubuh lebih besar, lebih gemuk, lebih tinggi, dan lancar berbicara dari dirinya? Wondo ingusan lebih baik tersenyum kecut sembari membuang kedongkolannya jauh-jauh.

Bersekolah bagi Wondo Ingusan adalah barang mahal dan sebuah kemewahan. Bisa makan tiwul tiga kali sehari saja sudah sebuah keberuntungan, apalagi bersekolah? Sebuah hal yang masuk kategori berkhayal buat Wondo. Di depan rumahnya, sering kali Wondo melihat anak-anak berlari-larian hendak ke sekolah, sedangkan Wondo bolak-balik berlari-lari kecil memanggul kayu bakar di bahunya dari pekarangan menuju dapur. Aing yang sedang meniup api di tungku tersenyum melihat rajinnya Wondo meski ada kesedihan di hati karena keterbatasan kemampuan suami dan dirinya sehingga Wondo Ingusan tidak bersekolah.

Namun rupanya keberkahan masih mau datang dan menyeka ingus Wondo sehingga anak itu tidak ingusan lagi dan bisa bersekolah. Aing dan Dege pernah menceritakan kepadanya bahwa satu orang berada di dusunnya rela memberikan uang untuk biaya Wondo bersekolah tingkat dasar. Senang sekali Wondo. Dengan gerak tubuhnya yang lamban dia memeluk bapak-ibu angkatnya.

“Wo ..., wo ..., won ..., won ..., won ..., ed ..., ed ..., do ..., bi ..., bi ..., bi ..., es ..., es ..., sa ..., se ..., se ..., se ..., ko ..., ko ..., ko ..., lah, ya, em ..., em .... Mak.”

Aing mengangguk seraya tersenyum haru hingga meneteskan air mata. Begitu pula Dege, dia jadi makin tenang berdagang sate kikil berkeliling sekuat betisnya menjelajah; tidak selalu melamun ketika menjelajah memikul dagangannya sehingga sering diumpat para bajingan pedati karena nyaris mencium mulut sapi.

Berkat bersekolah dan lulus sekolah tingkat dasar, Wondo mampu menulis, membaca, dan berhitung. Ajaibnya, mulutnya tidak pernah lagi terbata-bata saat berkata-kata semenjak lulus sekolah tingkat dasar. Bagai orang berpidato di depan podium, Wondo mampu berkata-kata dengan lancar tanpa keseleo lidah dan fasih ketika mengucapkan kosakata sulit susunannya seperti ular melingkar di atas pagar; kelapa diparut, kepala digaruk; satu sate tujuh tusuk (coba ulangi masing-masing sebanyak 10 kali!).

Alamak!

Selepas sekolah tingkat dasar dan lulus, cukuplah buat Wondo. Yang penting dia bisa menulis, membaca, dan berhitung. Masa pada kala Wondo hidup, tiga kemampuan itu sudah merupakan hal patut diperhitungkan pada saat bekerja maupun berusaha sendiri. Hanya yang jadi masalah buatnya adalah pekerjaan di dusunnya mengutamakan tenaga, sedangkan ketiga hal itu hanya digunakan pada saat dibutuhkan saja. Dan, berusaha sendiri bagi Wondo memerlukan modal, sedangkan modal utama yang Wondo punya selepas lulus sekolah hanyalah tenaga.

Namun dengan gerak tubuhnya yang lamban bak kura-kura, kira-kira pekerjaan apakah yang cocok buat Wondo?

Ke sana kemari Wondo mencari-cari pekerjaan. Di dusunnya tidak dapat, di dusun dan dukuh sebelah dia mencoba mencari pekerjaan yang mengutamakan tenaga dan cocok dengan keadaannya yang bergerak lamban.

Ketika diterima bekerja sebagai kuli angkut gabah di penggilingan padi CV. Berputar Terus, pemiliknya sampai geleng-geleng kepala memperhatikan Wondo. Kuli angkut gabah selain Wondo sudah sepuluh karung mengangkut gabah itu hingga ke pedati sementara si Lamban itu baru berhasil mengangkut karung gabah keempat. Dipecatlah Wondo pada hari pertama dia bekerja. Saat diterima bekerja sebagai buruh tani harian, belum genap sehari dia dipecat gegara buruh lainnya harus mengikuti ritmenya ketika menyemai benih-benih padi. Diterimalah dia bekerja sebagai buruh harian mengarit rerumputan untuk pakan hewan sapi dan kambing. Kambing dan sapi itu harus berlapang dada berpuasa setengah hari menunggu waktunya berbuka dengan kehadiran Wondo selepas waktu asar. Dipecat. Begitu dia diterima bekerja untuk memandikan sapi, sapinya masuk angin. Dipecat. Nasib baik Wondo, sapi itu tidak minta kerokan.

Kabar baiknya, dia masih diterima bekerja mencari kayu-kayu kering untuk bekal tungku dapur rumah Aing tetap menyala. Di pekarangannya sudah menumpuk kayu bakar yang sudah dicarinya selama seminggu. Wondo bolak-balik berlari-lari kecil memanggul kayu bakar di bahunya dari pekarangan menuju dapur.

Sempat Wondo berpikir untuk berdagang sate kikil saja meneruskan Dege, ayah angkatnya. Namun Dege berharap anak angkatnya itu berprofesi lebih tinggi darinya. Apa profesi yang lebih tinggi dari berjualan sate kikil pikulan berkeliling?

Wondo lalu memutuskan untuk berjualan sate ayam ala racikan Wondo tidak berkeliling. Satu bagian pekarangan rumah Dege-Aing digunakannya sebagai warung sate ayamnya itu sedang di sisi lainnya tumpukan kayu-kayu bakar siap untuk dibawa ke dapur rumah bila Aing menyuruhnya. Dan sebagai modal awal untuk usaha warung sate ayamnya itu, Dege dan Aing merelakan ayam-ayam peliharaan di belakang rumahnya dijadikan sate dan tumpukan kayu-kayu bakar dijual untuk Wondo membeli bakaran sate, kipas sate dan barang lainnya yang dibutuhkan untuk memperlancar usaha warung sate ayamnya.

Dengan tiga kemampuan ‘menulis, membaca dan berhitung’ itu sudah membuat Warung Sate Mas Wondo (Rungsatmaswo) patut diperhitungkan. Wondo Ingusan tidak ingusan lagi berkat Rungsatmaswo yang perlahan mulai tenar di seantero dusunnya.

Syahdan Rungsatmaswo berkembang pesat. Anehnya, kelambanan gerak tubuhnya bak lenyap disapu angin. Kini gerak kedua tangannya menjadi sat-set sejak Rungsatmaswo berkembang pesat. Dengan giat, Wondo melayani pesanan pelanggan. Antrenya pelanggan membuat Aing meninggalkan meniup-niup bara tungku dapurnya untuk membantu Wondo. Satu per satu pesanan terlayani dan uang pun terkumpul di laci kasir Rungsatmaswo. Ternyata yang dimaksudkan Dege dengan berprofesi lebih tinggi itu adalah berpatokan dari omzet. Varises di betis Dege plus omzet sate kikil pikulannya tidak sebanding dengan omzet Rungsatmaswo plus Aing.

Maka berjalanlah Rungsatmaswo mengikuti ritme waktu yang ajek.

Pada detak-detik waktu dan suasana yang diliputi oleh beragam puisi cinta ketika mata pelanggan bertemu mata pemilik Rungsatmaswo sehingga hati keduanya berdebar,

“Ini sate ayamnya, pedas bonus irisan lebih bawang merah,” kata-kata Wondo tidak terbata-bata.

“Ini uangnya, Mas ... ....” Tangan perempuan itu menjemba.

“Wondo!” seru pemilik Rungsatmaswo menerima telapak tangan perempuan berbola mata bulat berbinar itu.

“Tulkiyem. Orang-orang sering memanggil saya Tulki ketimbang Iyem.”

Lihat selengkapnya