“Ananda Wijangga.” Tentrem mengucapkan nama itu dengan semringah, bahagia dan haru. Meskipun cucu keduanya berkelamin sama dengan dirinya, beliau masih tetap bersyukur kepada Tuhan karena ibu Ananda Wijangga selamat ketika melahirkan bayinya.
Delapan hari lalu, di kamar Tentrem, di tempat tidur yang sama dan dukun bayi yang sama membantu persalinan bayi lelaki Jembut, ibunda Ananda masih bisa tersenyum walau kelelahan.
Dukun bayi itu mengangkat satu jempol tangan kanannya, “Mantap!” Senyum penuh semangat ditampilkannya di hadapan ibunda Ananda.
Jembut Lestari membalas dengan mengangkat satu jempolnya sementara tubuhnya masih terbaring di atas tempat tidur. Ibunda Ananda berusaha tersenyum.
“Kamu Ibu yang kuat,” ujar sang dukun memberi Jembut semangat.
Semasih terbaring di atas tempat tidur, ibunda Ananda mengangguk pasti dan kali ini cengengesan tampak di wajahnya. Bila sesiapa sudah sering melihat Jembut cengengesan, cengengesannya kali ini tidak membuat sesiapa yang melihatnya merasa dongkol.
Lamun ada keharuan, Tris, Ismowati ikut tersenyum kemudian tertawa kecil melihat polah ibunda Ananda.
Tidak mau dianggap seperti keledai, Tris dan Is bersepakat merekalah yang akan merawat Ananda. Biarpun Jembut tidak rela, memaksa, marah sekalipun, mereka berdua akan tega demi kebaikan Ananda Wijangga. Sawargi, Tris dan Is berbagi tugas karena ada anak Sawargi yang tetap harus diperhatikan waktu sekolah, bermain, makan, tidur dan sebagainya. Ananda berada dalam pengawasan Is. Dengan berada di dalam kamar Is, ibunda dan nenek Ananda tetap dapat mengunjunginya kapan saja. Hanya saja bila malam tiba, Is atau Tris-lah yang menemani Ananda, tidak Jembut maupun Tentrem.
Selepas empat puluh hari, Jembut ngamuk-ngamuk. Isi kamar Tentrem berantakan. Tentrem yang mendengar suara barang-barang seperti diacak-acak di kamarnya, mengingatkan anaknya agar ingat Tuhan.
“Istigfar, But, istigfar, But, istigfar, But.” Tubuh Tentrem berputar pelan ke kiri ke kanan mencari-cari di mana posisi Jembut. Beliau ingin gerak bibirnya diamati anaknya. “Istigfar, But, istigfar, But, istigfar, But.”
Pintu kamar Tentrem terbuka satu menit kemudian, Tris dan Sawargi nanar melihat sekeliling kamar Tentrem yang berantakan. Sawargi cepat menghampiri keponakannya, mencegahnya untuk mengacak-acak isi kamar dan menenangkannya. Tris pun cepat menghampiri anak Tentrem dan memeluknya. Meredalah amukan Jembut menyisakan tangisannya yang sesenggukan. Sedang mereka berdua begitu, Tentrem mengulurkan telapak tangannya yang kanan, mendapati ubun-ubun anaknya lalu diusap-usapnya dengan penuh kesayangan. Tubuh Tentrem ditarik Tris untuk masuk dalam pelukannya. Jadilah mereka bertiga berpelukan sedang Sawargi tersenyum lega dikelilingi isi kamar Tentrem yang berantakan.
Melalui bahasa isyarat ala Jembut, Tris yang duduk berhadapan dengan keponakannya, bertanya kepada anak Tentrem,
“Kamu kenapa?”
Jembut yang duduk bersila di bibir kasur, mengungkapkan bahwa dia kesal.
“Kesal kenapa?”
Anak Tentrem itu mengungkapkan bahwa kekesalannya itu disebabkan oleh bapak Ananda yang tidak muncul menemui anaknya. Wajah ibu Ananda tertunduk.