Waktu yang ditunggu-tunggu orang-orang di Dusun Taraje pun tiba.
Wondo takbisa mengelak dari telunjuk Jembut Lestari sebab beberapa pasang mata orang-orang Taraje berani menjadi saksi bahwa Wondo anak angkat Dege-Aing adalah pelaku rudapaksa terhadap Jembut Lestari. Ada yang melihat Wondo membecak berpenumpangkan Jembut Lestari menuju suatu tempat pada sore menjelang. Ada yang melihat Wondo dan Jembut Lestari beserta becak di dekat saung di petak tanah yang sedang ditanami palawija. Rupanya petak tanah itu empunya adalah Wondo. Ada yang melihat Jembut Lestari turun dari becak sekitar seratus meter dari rumah megah Mbah Asemo almarhum. Semua mampu mengingat bahwa mereka semua melihat mereka berdua pada hari Jumat. Meski Wondo sudah membaca surat edaran yang disebarkan itu dan memiliki kesempatan untuk kabur, betik hatinya menolak.
“Saya khilaf, Pak Anom,” kata Wondo pelan seraya tertunduk.
“Berapa kali kamu ‘khilaf’?”
“Dua kali, Pak.”
Pendopo rumah Mbah Is menjadi riuh rendah setelah mendengar jawaban Wondo. Tempat persidangan berubah lokasi atas saran dari Mbah Is yang tidak ingin urusan pribadi keluarganya menjadi konsumsi umum dan Pak Anom menyetujuinya. Meskipun begitu, orang-orang Taraje tetap tidak bisa dilarang. Mereka tetap berdesak-desakan di pendopo rumah keluarga Asemo almarhum. Ada yang duduk bersila, menjelepok, bertinggung, bertimpuh di dalam pendopo sedang lainnya berdesakan dengan lengan-lengan mereka bertumpu ke pagar pendopo berbahan kayu jati berpelitur mengilap setinggi dada orang dewasa.
Wondo duduk berhadapan dengan Sawargi yang duduk di sisi kiri, di sisi kanan Sawargi duduk Tris, kemudian Jembut Lestari persis duduk berhadapan langsung dengan Wondo, kemudian duduk Tentrem di sisi kanan Jembut Lestari, kemudian Pak Anom duduk berhadapan dengan Wondo di sisi kanan Mbah Is duduk. Sementara itu, para saksi duduk di belakang mereka semua membentuk semacam busur. Pusat busur itu adalah Wondo.
“Khilaf kok sampai dua kali,” ujar Pak Anom sesudah pertanyaannya dijawab Wondo. Nada ujarannya jelas sekali dongkol disertai tawa riuh rendah orang-orang Taraje setelah mendengar omongan kepala dusunnya.
Namun kedongkolan itu tidak hanya dirasakan oleh Pak Anom saja. Tulkiyem, Dege dan Aing juga merasakan hal yang sama bahkan mereka berdua tidak menyangka bahwa Wondo, suami dan anak angkat yang sudah mengeluarkan mereka dari lumpur kemelaratan mampu melakukan perbuatan nista itu. Mereka duduk bersimpuh menangis di antara orang-orang Taraje di pendopo itu. Tulkiyem membawa ketiga anaknya. Dua digendong Bu Daijem, satu berada dalam dekapannya.
Orang-orang Dusun Taraje pun mengamati dari perawakan Ananda Wijangga memang ada kemiripan dengan Wondo yang bermata sayu. Daun telinga mereka berdua sama sempit dan runcing ke bawah. Dari bentuk telapak kaki dan telapak tangan keduanya pun mirip. Dari semua kesamaan perawakan ini menambah bukti bahwa Ananda Wijangga yang duduk di pangkuan Tris adalah anak dari Wondo dan Jembut Lestari.
Tangan Pak Anom terangkat ke atas dan keriuhan di pendopo rumah Mbah Is pun mereda.
Mbah Ismowati bertanya, “Bagaimana pertanggungjawaban kamu kepada cucu saya dan Ananda?”
Pendopo rumah Mbah Is pun seketika sunyi.
Sepuluh detik kemudian, Wondo menjawab, “Saya akan menikahinya.”
Sekejap lalu Tulkiyem berteriak, “Tidak!” Bulat kedua bola matanya membinar, mengerjap dan mengalirlah butiran air mata membasahi pipinya.
Mata sayu Wondo beserta wajahnya menoleh kepada seorang perempuan yang berdiri menggendong anak dalam dekapannya sedang kedua pipinya sudah basah oleh air mata.
“Kalau Mas Wondo menikahi Jembut,” teriak Tulkiyem, “saya minta cerai!” Wajahnya terangguk-angguk sesenggukan.
Orang-orang Taraje yang hadir di pendopo rumah Mbah Is pun kaget dengan mengeluarkan suara bisik-bisik, menggumam bahkan ada provokasi dari kerumunan yang berteriak: “Cerai!” Berulang-ulang diteriakkannya kata itu hingga akhirnya dua orang hansipsun ‘pertahanan sipil dusun’ menariknya keluar dari kerumunan dan mengusirnya dari pendopo karena terbukti sebagai provokator.
Wondo harus memilih satu di antara dua pilihan. Di luar dugaan, Wondo mengabulkan gugatan cerai Tulkiyem. Begitu menyadari keputusan anak pungutnya benar-benar dinyatakan sendiri lewat mulutnya dan didengar oleh orang-orang Taraje di pendopo rumah Mbah Is, Dege kalap dan berteriak,
“Goblok!
“Bodoh!
“Kontolmu itu enggak ada sensornya, Won!” Dege berdiri mencak-mencak dengan telunjuk tangan menuding anak angkatnya itu. Di sisi suaminya yang berdiri mencak-mencak, Aing bersimpuh menangis kejer.
Tulkiyem masih menangis kejer lalu keluar dari pendopo rumah Mbah Is membelah kerumunan orang-orang Taraje yang berdesakan dibuntuti Bu Daijem yang menggendong dua orang anak Wondo-Tulkiyem.