“Sebagai lelaki, kamu harus kuat, Aryan,” gumam Aryan berulang-ulang mengutip pesan sang bapak yang sudah berkalang tanah. Masih dia duduk bersimpuh di sisi makam sang bapak. Pesan bapaknya itu seakan-akan terpahat di batok kepalanya, di mana dari dahinya menyembul butiran-butiran keringat seukuran biji kacang hijau. Terik sinar matahari pukul 14.00. Satu tenda yang menaungi sekeliling liang lahat membuat kerabat yang hadir di pemakaman itu terhalang oleh terik sinar matahari. Mereka yang berada di bawah naungan tenda itu bersedih.
Kerabat almarhum tidak menyangka bahwa saudaranya itu meninggal dalam usia masih muda. Namun yang membikin mereka terhenyak adalah bagaimana cara Jajat itu mati. Jajat mati tenggelam, bukan ditenggelamkan, dibunuh, atau ditembak para aparat polisi yang mengejar hendak meringkusnya dan/atau mati dikeroyok massa lantas mayatnya dilempar begitu saja ke sungai. Adalah benar dia dikejar-kejar aparat polisi dan massa yang hendak membekuknya. Dia hanya tidak menyadari bahwa sungai tempat dia nekat menceburkan diri untuk lepas dari kejaran polisi dan massa ternyata dalam sekali dan berarus deras. Kesadaran itu didapatkan dalam detik-detik mencekam ketika dia melompat dari birai jembatan dan menceburkan diri ke sungai deras itu, ditambah satu kesadaran pada dua detik terakhir bahwa dia tidak memiliki kemampuan berenang apalagi menyelam. Arus sungai itu memuntir Jajat dan menenggelamkan serta menyeretnya hingga hampir ke muara empat kilometer lagi. Esok hari mayatnya baru ditemukan. Itulah penyebab matinya Jajat, dan akhir kehidupan sang pencoleng.
Awal kehidupan Jajat tidaklah disematkan julukan pencoleng karena fitrahnya manusia adalah suci, bersih belum berdosa. Dibesarkan di tengah keluarga yang cukup berada, Jajat bersaudara ketiban pulung bersama satu saudara lelakinya, Taim. Ibu-bapaknya meninggal hampir berbarengan karena tertimpa suatu penyakit. Diwarisi harta sedemikian banyak yang dibagi sama rata dengan Taim, sang kakak, Jajat muda seakan-akan melangkah tidak menapak tanah. Taimlah yang selalu mau menarik lengan adiknya itu bila Jajat mulai lupa diri hendak melambung ke langit akibat memiliki harta yang lumayan banyak.
Sebegitu mudahnya Jajat menggunakan harta berupa rumah, tanah, sawah dengan boros. Apabila dia membutuhkan uang untuk membeli sesuatu, dengan mudah dia menjual sebagian tanah, sawah peninggalan orang tuanya. Uang yang didapatkannya dari menjual sebagian tanah atau sawah itu pun biasanya tak bertahan lama di genggaman tangan Jajat. Sang bapak dipastikan akan menepuk-nepuk tempurung depan kepalanya bila menyaksikan kelakuan anak bungsunya yang boros menggunakan harta yang dikumpulkannya selama hidup. Banjir keringat membanting tulang selama hidup Bapak mengumpulkan harta itu, Nak. Begitu mungkin kesah sang bapak di alam kubur.
Belum lagi sang ibu, bila diizinkan Tuhan untuk bertemu Jajat si Bungsu melalui mimpi, dia akan berpesan, “Jangan kauhambur-hamburkan semua perhiasan Ibu. Ingat! Kamu bakal punya anak dan cucu kelak.”
Namun kesah sang bapak dan pesan sang ibu tidak terdengar oleh Jajat. Sesudah Jajat mati—menyusul orang tuanya yang mati bertahun-tahun lalu—gegara kenekatan konyolnya, mungkin barulah sang bapak-ibu Jajat diizinkan Tuhan bertemu si Bungsu. Dalam keharuannya, sang bapak berkata, “Jajat ..., Jajat .... Sudah Bapak bilang jangan kau boros, jangan kau boros.” Sang ibu menggenapi, “Ho-oh, ho-oh.” Dan lagi sang bapak berkata, “Mati konyol, kan, kamu, Jajat, Jajat.”
Sebelum mati konyol, hidupnya pun sudah dipenuhi kekonyolan. Kalau boleh dibilang, Jajat, yang sering maunya melambung ke langit itu, suka ditipu orang, kawan, bahkan saudaranya sendiri. Sejak semasa kecil pun Jajat sering sekali dimanfaatkan oleh kawan-kawannya lantaran keberadaan orang tuanya.
Ketika sedang asyik bermain gundu, contohnya, lewatlah seorang penjaja gulali dengan pikulannya. Begitu melihat sekumpulan anak-anak riang bermain gundu, penjaja gulali itu paham bahwa di sekumpulan anak-anak itulah rezeki yang akan diberikan Tuhan itu berasal. Lenggak-lenggok pinggulnya cepat bergerak ke kanan ke kiri beserta pikulannya terhuyung-huyung menyesuaikan kecepatan langkah si penjaja gulali mendekati wasilah rezeki buat anak-istrinya.
Di dekat sepuluhan anak yang tertawa-tawa bila ada kawan sepermainannya yang kalah, penjaja gulali itu menurunkan pikulan dari bahunya dan berkata cukup keras, “Gulaliii ..., gulaliiiii ..., gulaliiiiiii.” Jajat berada bersama sembilan anak yang masih asyik memfokuskan diri untuk menghantam gundu lawan. Namun akibat teriakan penjaja gulali yang berulang-ulang membuat satu dua anak penasaran dan menoleh. Satu anak pun bertanya, “Jual apa, Bang?”
“Gulaliii ..., gulaliiiii ..., gulaliiiiiii.”
“Apa, Bang?” tanya anak itu menggoda karena nada suara “gulali”-nya si penjaja gulali begitu khas.
“Gulaliii ..., gulaliiiii ..., gulaliiiiiii.” Wajah penjaja gulali menjadi cerah karena sekumpulan anak-anak itu mulai terpengaruh oleh teriakannya yang khas.
Beberapa anak pun mulai bangun dari berjongkok, mengerubungi si penjaja gulali. Jajat yang mendapat giliran menghantam gundu lawan masih berusaha fokus. Dan ....
Satu gundu lawan yang dihantam oleh gundunya pun pecah jadi dua saking kerasnya hantaman gundu gaco Jajat. Berteriak senanglah Jajat meninju langit sembari berjongkok, tetapi dia celingak-celinguk kemudian. Kawan-kawannya ternyata sudah sepi di sekelilingnya. Hanya tertinggal dua orang yang berlarian terbirit-birit sambil sesekali menengok ke belakang untuk sekadar melihat wajah kebingungan Jajat. Si penjaja gulali pun mulai merasakan gelagat aneh, di luar nalar. Mengapa harus dipercayainya omongan dua anak yang baru saja berlarian barusan?
Jajat berdiri, menggaruk-garuk belakang kepalanya. Dia sudah merasakan pula ada gelagat aneh dari kesembilan kawan sepermainannya itu yang pergi begitu saja meninggalkannya. Biasanya kawan yang berpihak pada Jajat bersorak bila dia menghantam gundu lawan hingga terbelah dua, tetapi mengapa sepi? Ke mana mereka semua?
“Dek, kata dua kawan Adek barusan ..., hehehehe,” ujar penjaja gulali dengan ramah setelah mendekati Jajat sembari mengusap-usap dua telapak tangannya dan cengengesan. Punggungnya agak membungkuk dan bergoyang-goyang ke depan ke belakang.
Gelagat aneh yang dirasakan Jajat menjadi kenyataan. Mau tidak mau dia merogoh saku celana memastikan dia membawa beberapa lembar rupiah jatah uang jajannya. Jajat memberikan sejumlah uang yang dipinta oleh si penjaja gulali sambil mendengkus, bergumam, “Hee, dasssaaar! Awas saja!”
“Dek, terima kasih, ya, Dek.” Si penjaja gulali itu langsung putar badan dan lekas memanggul pikulannya lantas melenggak-lenggok hingga hilang di ujung jalan.
Bagi Jajat, uang yang dia berikan kepada si penjaja gulali itu tidak seberapa bila dibandingkan uang jajan pemberian orang tuanya setiap hari. Meski begitu, tetap saja dia merasa kesal karena dimanfaatkan oleh kawan-kawannya itu. “Mentang-mentang mereka tahu Jajat anak orang kaya, seenaknya saja minta ditraktir tanpa permisi,” gumam Jajat mendengkus lagi.
Pada usia remaja, Jajat pun masih dimanfaatkan saudara maupun kawannya dengan satu kalimat horor ‘pinjam dulu seratus’ yang populer di era kekinian. Dan pada masa Jajat hidup pun, susunan kata itu masih setali tiga uang maknanya. Sesudah dipinjami, saudara atau kawannya itu menghilang entah ke mana bila hendak ditagih. Bila bertemu tak sengaja pun, mereka berlagak pilon, linglung, dan sebagainya di depan Jajat yang merasa dongkol.
“Ayo, Yan, kita pulang.” Satu tangan terulur mengelus-elus ubun-ubun Aryan. Aryan mendongak ke kiri. Dia pun bangkit lalu memeluk ibunya.
“Bu Arum, kami ikut berdukacita,” kata seorang perempuan berkerudung dan berkacamata hitam.
Semasih Aryan dalam pelukannya, Arum menerima ucapan belasungkawa dan mengucapkan, “Terima kasih.” Matanya masih sembap.
Beberapa orang perempuan yang lain pun ada yang mengusap-usap bahu Arum untuk memberinya semangat dan tegar serta ada pula yang hanya tersenyum, mengangguk kemudian meninggalkan ibu dan anak itu yang masih berpelukan.
Pori-pori kulit tubuh Aryan masih bisa merasakan bagaimana hangatnya tubuh Jajat yang memeluknya sembari berkata, “Sebagai lelaki, kamu harus kuat, Aryan.” Kalimat itu terucap tiga hari sebelum kematian sang bapak.
Sebulan setelah kematian Jajat, Aryan bertanya, “Mengapa Bapak mati karena dikejar-kejar polisi, Bu?”
Sang ibu menggeleng seraya mengelus-elus kepala dan bagian wajah Aryan yang bengap. “Bapakmu enggak mati dikejar-kejar polisi.”