Anak Tentrem

Andriyana
Chapter #29

Bab 28

Aryan patut bersyukur Taim mau membesarkannya selepas Jajat-Arum meninggal. Meski Aryan sudah balig, Taim tetap mau mendidik dan membesarkannya. Sang ibu mengamanatkan anak itu kepadanya. Anak Jajat itu tinggal serumah dengan keluarga Taim meninggalkan rumah peninggalan kedua orang tuanya.

Lain adik lain pula kakak. Taim memiliki dua orang anak lelaki dan membesarkannya senantiasa lekat dengan agama. Begitu pun dengan istri Taim yang dinikahinya melalui cara taaruf. Perkenalan antara lelaki dan perempuan dari dua keluarga itu dimudahkan Tuhan untuk berlanjut hingga jenjang pernikahan. Prosesi pernikahan mereka berdua pun dilaksanakan dengan sederhana. Pikir mereka berdua, utamakanlah yang utama seperti sahnya akad nikah mereka berdua, dan acara walimah urusy tidak terkendala sesuatu pun. Taim melihat kedua orang tuanya menitikkan air mata selesai akad nikah. Air mata bahagia. Dan dia melihat Jajat yang tersenyum bahagia dan haru seraya menepuk-nepuk bahu sang kakak kemudian memeluknya. Semasih adik-kakak itu berpelukan, sang adik berkata, “Aku juga akan menyusul.” Lalu Jajat melepaskan pelukannya.

“InsyaAllah,” Taim mendoakan adiknya. Haru dan bahagia jelas terlihat dari raut wajahnya.

Berbeda dengan adiknya, dengan teliti Taim mengelola harta warisan peninggalan orang tuanya selepas setahun pernikahan Jajat dan Arum. Dia menyadari bahwa harta adalah sekadar titipan dari Tuhan dan harus dipertanggungjawabkannya di akhirat nanti. Maka dari itu, sedapat mungkin segala sesuatu yang berhubungan dengan harta titipan itu sudah dikeluarkan zakatnya sehingga apa yang digunakan oleh dirinya dan anggota keluarganya adalah harta yang sudah dibersihkan, halal dan baik.

Taim bersyukur karena bisa melaksanakan amanat sang ibu. Dewasalah kedua anaknya. Dewasalah keponakannya. Menualah dirinya dan istrinya.

Bertambah usia Aryan, isi otaknya pun bertambah dengan ilmu pengetahuan dan hatinya pun diisi dengan zarah-zarah kebijaksanaan. Selepas sekolah menengah atas, Aryan ditawari Taim untuk melanjutkan pendidikan. Aryan pikir-pikir dulu, katanya. Rasanya, tak enak hati Aryan begitu mengetahui bahwa semenjak kelahirannya saja, Taimlah yang membiayainya. Saat bapaknya mati, Taimlah yang memberi uang jajan dan kebutuhan sekolah dan lainnya. Kendati Arum nyaris berhasil meniti karier sebagai tukang balon gas keliling, sayangnya kariernya tamat akibat tabrakan maut. Sepeda Arum ringsek tak jelas bentuknya lagi, sedangkan mobil itu sesudah menabrak sepeda Arum dari belakang kemudian menghantam bibir pedestrian dan terguling-guling hingga tiang lampu jalan melibas pintu kemudi. Tiang lampu jalan tetap berdiri kokoh sementara pintu kemudi penyok ke dalam. Dan pengemudinya pun tewas di tempat kejadian perkara. Begitu pun Arum. Meski wajahnya bersimbah darah, Arum tersenyum saat tamat hidupnya. Maka saat ibunya mati, bersandarlah seluruh tubuhnya ke tubuh Taim.

Aryan menyempatkan mampir ke rumah peninggalan orang tuanya. Semua barang peninggalan orang tuanya termasuk sepeda ringsek ibunya ada di gudang. Entah mengapa, begitu masuk ke rumahnya, dia ingin segera menuju gudang. Mungkin inspirasi usaha bisa didapatkannya dengan dia melihat-lihat barang-barang di gudang tersebut.

Aryan melihat dus-dus berisi mainan semasa kecilnya, kursi bayinya semasa dia belajar menapak dan berdiri, sepeda mungil yang biasa ditungganginya ke sana kemari di dalam maupun di pekarangan rumahnya, jungkat-jungkit kuda berbahan kayu, mobil-mobilan bus, truk berbahan tripleks, kaki katak karet dan kacamata renang yang sering dipakainya ketika berenang.

Dia melihat tabung helium yang membungkuk akibat penyok dan terompet tangan seperti mengintip karena badannya sebagian tersembunyi di balik tabung helium bungkuk itu. Sisa-sisa tangkai balon berbahan plastik, dan balon karet yang masih utuh dalam plastik juga terlihat olehnya. Dipegangnya balon itu, dipegangnya tangkai plastik itu. Aryan tersenyum-senyum sendiri. Dia mengingat betul bagaimana kagetnya Arum ketika melihat dia sudah ada di hadapannya tiba-tiba. Kedua tangannya sedang gesit memompa balon-balon gas disambi menerima uang dari anak-anak sekolah taman kanak-kanak yang membeli balon gas. Aryan tak banyak bicara. Dia memperhatikan bagaimana ibunya memompa gas helium masuk ke dalam balon, mengikatnya dengan pengikat plastik lalu menyusupkan ujung tangkai plastik ke pengikat balon. Aryan memperhatikan kegesitan Arum selama beberapa menit. Ketika anak-anak sekolah mulai sepi mengerubungi sepeda ibunya, Aryan mencoba mempraktikkan apa yang sudah diamatinya barusan. Arum memberi ruang agar Aryan leluasa. Dia menggeser posisi tubuhnya. Gantian Aryan yang memompa gas helium itu masuk ke dalam balon. Aryan terlihat jelas masih merasa kaku dan belum terbiasa. Dengan sabar, Arum membimbingnya pelan-pelan hingga satu balon gas berhasil Aryan tuntaskan. Arum masih membimbingnya pada percobaan kedua. Dan pada percobaan ketiga, Aryan sendiri berhasil menuntaskan semua proses membuat balon gas itu. Arum senang dan mengelus-elus rambut anaknya. Tidak berapa lama kemudian, beberapa anak sekolah taman kanak-kanak menghampiri mereka berdua. Aryan giat memompa balon gas, Arum menerima uang dari tangan anak-anak itu yang berlarian riang dengan balon gas di genggaman tangannya menuju gerbang sekolahnya. Aryan mengulum senyumnya semasih memegang satu tangkai plastik itu lalu meletakkannya dengan takzim.

Aryan pun keluar dari gudang. Inspirasi belum didapatkannya dan pikirannya tetap butek. Dia melangkah menuju kamarnya. Melongoklah kepalanya hanya lewat sebatas kosen pintu masuk kamarnya yang tidak berdaun pintu. Bau khas kamar tidak pernah ditempati tercium oleh hidungnya sementara matanya melihat di sudut-sudut kamarnya laba-laba rajin menyulam sarangnya. Enggan dia untuk masuk ke kamarnya itu. Kemudian dia hendak menuju kamar orang tuanya. Namun kakinya terhenti. Urung dia melanjutkan langkahnya dan segera keluar dari rumah peninggalan orang tuanya itu.

Belum seberapa jauh Aryan meninggalkan rumahnya, dari kejauhan Aryan melihat sebuah mobil menyusuri jalan makin mendekatinya. Aryan yang melangkah di sisi sebelah kiri jalan harus menghentikan langkahnya karena mobil itu berhenti persis di sisinya dengan seorang sopir bertanya kepadanya sesudah jendela mobilnya terbuka,

“Permisi, Dek.”

“Iya, Pak.”

“Saya mau tanya ....”

“Tanya apa, Pak?”

“Jalan besar, ke mana, ya?”

Aryan sempat melirik memperhatikan seorang gadis belia dengan rambut sebahu, bermata sayu, hidungnya bangir, bersih kulitnya, dan duduk di samping kursi kemudi. Gadis itu tahu kalau dia sedang diperhatikan oleh seorang lelaki remaja. Ramah, gadis itu tersenyum seraya sekali menganggukkan kepala kepada Aryan. Aryan menjadi salah tingkah.

“Dek ....”

“Oh .... Jalan besar, ya,” ujar Aryan berusaha menutupi polahnya sendiri yang tiba-tiba aneh.

 Lelaki remaja itu menekur sejenak lalu telapak tangannya bergerak-gerak memberi arahan kepada si penanya dan kadang kepalanya bergerak selaras dengan gerakan tangannya memberikan petunjuk arah menuju jalan besar. Aryan sekali lagi mengambil kesempatan mencuri pandang wajah gadis bermata sayu itu.

Si penanya pun tersenyum seraya mengucapkan terima kasih dan menutup jendela kaca mobilnya. Selagi kaca mobil itu bergerak perlahan ke atas, Aryan masih dapat melihat senyuman gadis belia bermata sayu itu untuknya hingga kaca itu akhirnya tertutup. Lantas mobil itu berpisah dengan Aryan yang masih berusaha menyimpan seluruh pemandangan indah yang didapatkannya dari wajah gadis bermata sayu itu di dalam memori otaknya.

“Siapa dia?” gumam Aryan sembari kembali melangkah menuju rumah Taim.

Taim tak banyak bertanya macam-macam sesudah menjawab salam Aryan. Dia hanya bertanya sekadar mengingatkan remaja itu,

“Sudah Salat Asar?”

“Sudah, di masjid.”

“Heemm ....”

Taim berdeham dan melanjutkan pekerjaannya. Kakinya menekan pedal sedang tangannya fokus menggerakkan kain mengikuti alurnya.

Pada tahun 2016, Aryan seperti mengalami deja vu. Dia merasa seperti pernah melihat seorang gadis belia dengan rambut sebahu, bermata sayu, hidungnya bangir, bersih kulitnya, di dalam mobil yang bersisian dengan motornya di lampu merah. Matanya membeliak seakan-akan takpercaya, sedangkan gadis itu menoleh ke kiri dan memperhatikan wajahnya lalu tersenyum ramah. Pertemuannya dengan gadis bermata sayu itu bagai hadiah dari Tuhan atas kelulusannya di D3 pada suatu sore itu.

Ide dadakannya pun muncul. Aryan membuntuti mobil itu. Dia menjaga jarak motornya dari mobil yang pelat nomornya sudah direkamnya dalam ingatan. Dia pun sempat memfoto pelat nomor mobil itu melalui kamera gawainya selagi berhenti di lampu merah untuk berjaga-jaga kalau-kalau dia terlupa. Dia masih membuntutinya. Lalu lintas ramai makin lama makin lengang. Mobil itu masih dibuntuti oleh Aryan. Sekitar satu jam kemudian, mobil itu berhenti di satu rumah sebuah dusun. Dia sempat kelimpungan. Sebagai perantau, Aryan baru kali ini mengunjungi dusun itu. Saking fokus mengikuti laju mobil itu, dia tidak tahu posisinya berada di mana. Namun kelimpungannya seketika pergi begitu dia melihat gadis bermata sayu itu turun dari mobil.

Dalam jarak sekitar lima puluhan meter, gadis bermata sayu itu sempat menghentikan langkahnya. Sejenak dia menoleh seolah-olah merasa ada seseorang yang sedang mengawasinya. Lalu dia kembali melangkah dan masuk ke gerbang sebuah rumah.

Aryan begitu terpesona melihat tubuh gadis bermata sayu itu. Namun dia tersadar begitu gadis itu menghilang di balik gerbang rumah. Aryan menghela napasnya. Dia mengambil gawai dari saku jaketnya yang kiri. Dari aplikasi peta di gawainya, dia tidak merasa kelimpungan lagi sesudah aplikasi itu menunjukkan lokasi keberadaannya, yakni Dusun Taraje.

Sesudah memasuki gerbang rumah di Dusun Taraje, gadis bermata sayu itu sedang melangkah di pelataran pendopo rumah ketika dipanggil,

“Awi!”

Wajah Awi sekejap kaget, tapi segera berubah cerah, dan berseru, “Bude Ainun!” Dia berlari-lari kecil sedang Ainun menunggunya sambil tersenyum.

Mereka berdua saling melepas kangen dengan berpelukan.

“Bagaimana kabar kamu, Wi?”

“Baik, Bude. Iiih ..., kemari kok enggak bilang-bilang, sih.”

Ainun hanya tersenyum sesudah melepas pelukan. Mereka berdua saling menatap.

Awi bertanya, “Aimah ikut?”

Ainun memanggil Aimah. “Ai, Dek Nun, nih.” Beberapa kali Ainun memanggil anaknya itu. “Ai .... Ayo kemari. Mama di pendopo rumah Mbah Tris.”

Belum genap dua detik selesai panggilan Ainun yang terakhir, seorang anak kecil dengan malu-malu mendekati Ainun dan Awi. Aimah melangkah sedang satu telapak tangan kirinya mengusap-usap pergelangan tangannya yang kanan. Ai digendong Awi dengan gemas.

“Aduh, duh, duh, anak Bude Ai berat sekali ini ..., anak Bude Ai berat sekali ini.”

Semasih Awi menggendong Aimah, mereka berdua bersalaman. Ainun mencium punggung tangan Aimah dengan takzim, lalu gemas menciumi pipi gembul Aimah yang kanan dan kiri. Kemudian Awi menurunkan Aimah sembari mengeluh tangan kirinya kebas.

“Berat ih anak Bude Ai,” seloroh Awi.

Sebelum berbalik badan dan berlari-lari kecil masuk ke rumah utama, Aimah melambaikan tangan kepada Awi selagi Ainun tersenyum merespons canda Awi dan Awi pun membalas lambaian tangan cucu Sawargi.

Mereka berdua pun melangkah bersama menuju satu sudut pendopo. Dua kursi dan satu meja bundar menunggu mereka berdua di sudut pendopo itu. Sesudah mereka berdua duduk bersisian, mereka bersenda gurau, bercerita kabar di antara mereka dan kerabat, dan lain sebagainya. Awi tiba-tiba bertanya,

“Bude, Bude percaya deja vu, enggak?”

Ainun mengernyitkan keningnya sebelum menjawab, “Percaya enggak percaya. Aku belum pernah mengalaminya sendiri, sih.” Lalu dia balik bertanya, “Kenapa, Wi, kamu mengalami deja vu, ya?”

Awi menganggukkan kepalanya sekali saja dengan pasti.

“Kapan?”

“Barusan.”

“Barusan?” tanya Ainun.

“Iya.”

“Di mana?”

“Sehabis turun dari kendaraan.”

“Terus ...?”

Awi menceritakan bahwa dia seperti mengenal wajah lelaki berjaket yang mengikuti mobilnya menggunakan sepeda motor.

Ainun bertanya penasaran, “Kamu kenal wajah lelaki itu di mana?”

“Nah .... itulah yang Awi bilang deja vu, Bude.” Ujar Awi, “Awi serasa seperti mengenal wajahnya, tapi enggak tahu di mana.”

“Terus ....”

“Dia mengikuti mobil Awi sampai rumah ini.”

“Hah!” seru Ainun. “Rumah ini?

“Kamu yakin enggak kenal sama lelaki itu?”

Awi diam sesaat memancing memori otaknya untuk memberinya informasi. Lalu wajahnya menggeleng-geleng sembari menggigit bibir bawah.

Dua tahun sesudah Aryan dan Awi merasa mengalami deja vu ....

Awi berseru, “Kamu!?” seru Aryan.

Mereka berdua saling menunjuk seperti sudah saling mengenal satu sama lain walau belum mengetahui nama satu sama lain. Awi dan Aryan memindai satu sama lain. Rambut sebahu, jaket, mata sayu, rambut ikal, kemeja wanita bermotif melati dan celana panjang kulot, celana panjang hitam pria berbahan katun. Semua pakaian yang mereka berdua pakai persis sama ketika Aryan membuntuti Awi hingga ke salah satu rumah di Dusun Taraje.

“Kok bisa sama?” tanya Aryan seperti takpercaya. Telunjuknya menunjuk ujung kepala Awi hingga ujung kaki Awi lalu telunjuk itu menunjuk wajah gadis bermata sayu itu.

“Iya,” timpal Awi masih belum percaya dengan apa yang sedang dilihatnya.

Awi dan Aryan berbarengan bertanya, “Kamu siapa?” Tatapan mata keduanya masih membinar takpercaya.

Aryan menjemba dan refleks Awi menerima tangan Aryan yang terulur,

“Aryan.”

“Awi.”

Tiba-tiba seorang perempuan menyarankan mereka berdua untuk tidak menghalangi baris antrean tiket teater film.

Akibat merasa keliru, mereka berdua menyisi dari antrean dan bersisian melangkah.

“Iiiih .... Kok bisa sama, sih,” kata Awi.

“Iya, kok bisa bertemu lagi, ya.

“Ini pertemuan kita yang ketiga kali,” Aryan berkata selesai mengingat-ingat dan tiga jemarinya ditunjuk oleh satu telunjuknya yang kanan.

“Oya?” balas Awi. “Kamu masih bisa mengingat semuanya?” Mata Awi membinar senang seraya menoleh kepada Aryan yang berambut ikal itu.

Aryan mengangguk dengan senyum penuh keyakinan.

Tercipta hening di antara mereka berdua selama delapan detik ditambah delapan puluh detik lagi. Mereka berdua melangkah tanpa tujuan pasti di lokasi teater film. Mereka berjalan menyusuri dinding berisi poster-poster film yang sedang tayang dan akan tayang, menyusuri penjual popcorn dan minuman bersoda, melewati etalase berisi makanan ringan, dan akhirnya langkah kaki mereka berdua terhenti serentak. Selangkah lagi, koridor toilet bakal terlihat oleh mereka berdua. 

“Aku masih enggak percaya, Awi,” ujar Aryan.

“Aku juga.

“Eh, Aryan .... Jangan-jangan kamu kemari membuntuti aku, ya?” tanya Awi berseloroh.

Satu telapak tangan Aryan sontak menggeleng-geleng, “Enggak, Wi, enggak. Sumpah.” Telapak tangan Aryan berganti dengan satu telunjuk dan jari tengahnya menegak.

Awi tertawa-tawa kecil melihat tingkah Aryan. “Kita berhenti di sini mau apa, sih?” tanya Awi. “Kamu mau ke toilet?”

“Mau menonton,” jawab Aryan datar.

Lihat selengkapnya