Aryan keluar dari ruang persalinan dengan raut wajah campur aduk. Dahinya berkeringat, tidak banyak. Dan kebahagiaan jelas tampak ketika dia ditanya oleh Taim,
“Lelaki, perempuan?”
“Awi, bagaimana?” tanya Ainun.
“Tidak ada masalah, kan?” tanya Tentrem. Jemari tangannya yang kanan menggenggam erat jemari Jembut Lestari yang sama menunggu-nunggu kabar kelahiran cucu pertamanya.
Sebelum menjawab ketiga pertanyaan itu, Aryan bak ujung tombak pemain sepak bola yang melakukan selebrasi, mengepalkan kedua jemarinya dan nyaris bersorak. Untung saja dia diingatkan oleh Ainun bahwa dia tidak sedang berada di lapangan sepak bola.
“Perempuan. Baik. Tidak.”
Sekejap lalu, Taim dan Ainun refleks meniru tingkah Aryan sedang Jembut melihat polah ketiga orang itu dan dua detik kemudian juga meniru tingkah mereka bertiga. Cengengesan, kah? Tentu, dong!
Dan Tentrem yang masih menggenggam erat jemari kiri anaknya ikut-ikutan tertarik tangannya sehingga tubuhnya pun bangkit mendekati tiga orang yang sedang berselebrasi, dan satu orang yang berbahagia dengan senyum khasnya. “Alhamdulillaah,” gumamnya dengan dua titik air mata turun ke pipinya.
Selagi mereka meluapkan kebahagiaan dengan tingkahnya masing-masing, satu perawat keluar dari ruang persalinan. Dia hanya tersenyum simpul. Sudah takbisa lagi dia menghitung berapa kali melihat suasana bahagia seperti itu. Sekali dia memberikan isyarat kepada mereka agar tetap tenang, tidak gaduh. Aryan menjawab dengan mengangkat satu jempolnya, dan perawat itu berlalu menuju ruangan lain. Kemudian mereka saling berpelukan. Taim memeluk Aryan. Tentrem dipeluk Ainun dan Jembut Lestari.
Aryan melepas pelukannya dari Taim.