Malam itu, setelah Sri tertidur pulas dengan Adit di antara mereka, Mika diam-diam memakai jaketnya dan mulai mengemas beberapa barangnya. Ruangan itu terasa begitu tenang dengan bayi yang sedang tidur dengan nyenyak. Mika melihat sekilas wajah mungil Adit yang polos dalam tidurnya, dan hatinya hancur.
Dia tahu bahwa keputusan ini akan menjadi salah satu yang paling sulit dalam hidupnya. Meninggalkan bayinya, meskipun hanya untuk sementara, adalah pilihan yang memilukan. Namun, dia juga tahu bahwa dia harus kembali ke Jakarta untuk menyelesaikan tanggung jawabnya dan memberikan masa depan yang lebih baik bagi Adit.
Setelah segala barangnya terkemas rapi, Mika perlahan-lahan mendekati buaian kecil yang menampung tidur Adit. Dia membungkukkan tubuhnya dengan lembut dan mencium dahi mungil bayinya. Air mata mengalir dari mata Mika, dan dia berbisik dengan suara serak, "Selamat tinggal, Nak. Ibu akan kembali segera."
Mika mencium dahi Adit sekali lagi sebelum mengangkat tasnya dan berjalan keluar dari ruangan itu dengan hati yang berat. Dia tahu bahwa perpisahan ini akan sangat sulit, tapi dia berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan kembali secepat mungkin untuk bertemu kembali dengan putranya yang sangat dicintainya.
Sesampainya di loket bus antar lintas, Mika dengan gemetar mencoba menelepon Zuhairi. Air matanya tersedu-sedu, dan hatinya terasa hancur. Dia mencoba untuk bersikap kuat, tapi perasaan kehilangan Adit yang baru saja dia tinggalkan begitu mendalam.
Mika menekan nomor telepon Zuhairi dan menunggu dengan napas tersengal-sengal. Suara deru bis dan kegaduhan di terminal bus hanya menambah ketegangan di dalam hatinya. Panggilan pertama tidak diangkat. Mika mencoba lagi. Dan lagi. Dan lagi.
Dia terus mencoba menelepon Zuhairi, tetapi tak satupun panggilannya dijawab. Setiap kali panggilan berakhir dengan mesin penjawab otomatis. Air mata Mika semakin deras, dan tangisannya semakin tersedu-sedu.
Tepat ketika dia hampir kehilangan harapan, panggilan ke-20 akhirnya mendapat respons. Suara Zuhairi terdengar dengan nada yang kesal dan penuh amarah. "Apa lagi, Mika? Kenapa kamu terus meneleponku?"
Mika hampir tidak bisa bicara karena tangisannya. "Zuhairi, aku... aku baru saja meninggalkan Adit di Medan bersama ibuku. Aku tahu ini adalah keputusan yang sulit, tapi aku harus kembali ke Jakarta. Tolong, Zuhairi, aku butuh dukunganmu."
Zuhairi tetap diam sejenak, dan ketika dia akhirnya berbicara, suaranya masih penuh dengan ketidakpuasan. "Kamu harusnya memikirkan semuanya sejak awal, Mika. Sekarang, kamu harus bertanggung jawab atas pilihanmu. Aku sudah tidak ada hubungan apa pun denganmu."