Januari, 2011
Kalau lazimnya orang mau menikah itu berangkat membawa set baju tidur yang menggoda untuk malam pertama, atau persiapan lain untuk bulan madu, aku tentu saja tidak.
Mertua sudah tiba beberapa hari lalu dan mereka yang sibuk mempersiapkan segala hal untuk acara pernikahanku. Aku malah mondar mandir Malang Surabaya untuk mengurus keberangkatanku PTT satu hari setelah pernikahan. Jadi, saat hendak berangkat menuju hotel tempat merias wajah dan persiapan lain, yang kubawa adalah dokumen-dokumen seperti SPPD, SK, dan surat tugas untukku berangkat menjalani masa pengabdian sebagai dokter di sebuah kabupaten di Kalimantan Timur.
Tahu yang sangat kusyukuri dari mengenal keluarga calon suamiku? Mama mertua dan papa mertua orang kaya yang sangat baik dan hangat padaku. Aku disambut dengan baik, dan mereka mingggu kemarin tidak berkeberatan datang ke rumahku yang sempit dan berada di gang sempit yang mobil tidak bisa masuk. Syukurlah mereka tidak jijik pada rumahku. Aku tidak berkeberatan mengembalikan "uang muka' yang diberikan oleh calon suamiku seandainya mereka nampak jijik saat melangkahkan kaki ke rumahku. Toh uangnya belum kupake. Aku dan harga diriku sangat tinggi. Tidak bisa aku melihat ibuku dihina. Dia sudah susah payah membesarkanku seorang diri.
Saat ini aku masuk ke kamar hotel yang telah disiapkan untukku. Kamar Reno, calon suamiku ada di sebelah, keluarga besarnya ada di lantai lain kabarnya. Pandanganku beredar mengamati seisi kamar dengan kelas tertinggi di hotel ini. Meski aku lahir dan besar di malang, hotel ini baru kali ini aku masuki. Kemewahan ini baru kunikmati. Tapi entah hatiku kosong saja. Aku tidak merasa bahagia, atau apapun. Mungkin benar, hatiku mengeras, tapi bukan sirosis tentu saja. Karena bukan heparku yang bermasalah. Tapi perasaanku saja yang sudah mati. Tak ada rasa yang bisa aku rasakan selain pedih, marah, dan hampa.
Kamar ini untukku dan Ibu. Kamar sebelah untuk Pak Dhe Cip, dan keluarganya. Pak Dhe Cip satu-satunya keluarga kami, dia kakak kandung Ibu. Yang menikahkan Ibu dulu konon kabarnya juga Pak Dhe. kalau aku, besok wali hakim yang menikahkan aku. Mana mungkin bapak/ayah/atau siapapun menyebut untuk laki-laki penyumbang sperma sehingga bisa terwujud jadi aku, yang menikahkan aku. Aku hanya tahu nama dan fotonya. Tapi sekalipun aku tidak pernah bertemu dengannya. Dan keluarga kami juga tidak ada keinginan melacaknya. Biarlah, laki-laki yang bisa kusebut sebagai keluarga ya hanya Pak Dhe Cip.
Tahap kehidupan yang disebut pernikahan ini terus terang tidak pernah kubayangkan. Hatiku terlalu batu untuk merasa cinta, sehingga aku pikir aku tidak akan menikah karena cinta buatku tak penting. Kesibukan studi membuatku lupa, bahwa pernikahan tidak melulu karena cinta. Ada yang atas dasar perjodohan, keterpaksaan, "kecelakaan", atau kesepakatan seperti aku saat ini.
Tuhan Maha Luar Biasa, membolak-balikkan keadaan secepat ini. Dari aku yang dua minggu kemarin masih makan telur satu biji untuk dua kali makan, sekarang menyaksikan aneka makanan di meja kamar VVIP yang kutempati. Kesepakatan ini, semoga saja benar-benar membawa kebaikan untuk aku dan Ibu. Dengan uang muka yang telah kuterima, dan penghasilanku kelak, perlahan aku bisa memperbaiki kondisi rumah.
Tuhan mengatur pertemuanku dengan Reno dengan cara yang benar-benar unik, dan instan. Aku ingat betul, pagi itu, aku persiapan menuju kampus untuk bertemu seorang teman tentang kemungkinan beasiswa S2. Aku sendiri sebenarnya belum jelas arah. Akan S2 dan menjadi dosen, atau lanjut spesialis setelah PTT kalau ada beasiswa PPDS dan mendapat rekom, atau entah bagaimana kelak. Aku hanya tahu, apa yang ada di depanku, aku upayakan dulu. Entah mana nanti yang akan ditekuni. Tidak jelas memang. Karena pertimbangan nomor satu adalah biaya.
Sayangnya, ada insiden yang menghalangi kegiatan pagi itu. Ada motor yang menyerempetku. Memang bukan motor sejuta umat. Ini jelas motor mahal. Yang mengemudikannya turun dan meminta maaf. Aku yang sedang galau memikirkan masa depan, lalu mengalami hal receh seperti itu, entah kenapa menjadi kalap. Emosiku memuncak. Bukannya cukup bilang –iya- dan semua beres, toh aku juga nggak kenapa-kenapa. Yang terjadi, aku malah memaki-makinya. Panjang lebar pula makianku. Kalimat-kalimat awal yang masih pake logat betawi karena aku kuliah di Jakarta, diakhiri dengan satu kata Jawa Timuran andalanku: JANCUK!
Aku nggak peduli kalau dia akan membalas makianku, atau menghajarku atau apapun. Aku bete! Aku kesulitan merencanakan masa depan dengan kondisi finansial terbatas. Dan aku tidak suka kalah dan menyerah. Aku dan sifat ambisiusku meronta memaki keadaan.
Tahu responnya? Dia melongo. Tidak menyangka sepertinya. Orang secantik dan seanggun aku, bisa-bisanya merapalkan makian dan umpatan dengan kecepatan serupa kecepatan cahaya, karena mataku juga tajam ingin menyiletnya.
Iya, aku iri dengannya. Dia jelas bukan kaum jelata, dari dandanan dan motor tunggangannya. Lalu dia melirik arlojinya, yang juga jelas mahal. Kemudian menggandeng tanganku mengajaknya naik.
Aku? Berontak awalnya. Tapi dia membisikiku sesuatu yang membuatku tunduk. Dia cuma bilang “Ikut gue, gue ajak lo ke tempat di mana masalah lo bakal beres, sumpah!”
Sok tahu sekali kan dia? Kami tidak saling kenal, jadi dari mana dia tahu masalahku? Temanku saja belum tentu tahu apa sumber keresahanku. Dia dengan sok tahunya mengajak aku ke tempat di mana aku bisa ‘sembuh’.
Oke, aku turuti karena penasaran. Dan putus asa. Karena tanpa rasa putus asa tadi, mana mungkin aku mau diajak orang yang tidak kukenal begini? Bisa jadi korban human trafficking dan mati konyol bukan?
Dia mengajakku lewat jalan-jalan tikus yang entah ke mana. Aku masih luar biasa kesal dan sibuk dengan ponsel untuk membatalkan janji bertemu dengan kawan-kawanku.
Begitu berhenti, baru aku sadar, aku sudah di depan sebuah perkantoran. Dan, dari tadi tidak memakai helm. Ah biar saja, kalau ada polisi tinggal bilang aku korban penculikan, biar mampus sekalian cowok sok tahu ini.
Dia menggandengku menuju kafe kecil di sisi kiri kantor. Mengajakku duduk berhadapan di meja paling sudut dan sepi.
“Apa yang paling lo perlukan saat ini?” tanyanya pelan. Matanya menatapku dalam-dalam. Matanya tajam, cocok sekali dengan wajah tampannya. Oke, aku akui dia tampan. Kulitnya bersih, tapi masih 'lakik' banget lah.
“Kalau gue jawab, emang lo bisa bantu apa? Kita bahkan tidak saling kenal.”