Pagi itu, aku terbangun dengan sedikit pusing. Lelah sekali. Tapi, setelah Salat Subuh, aku memaksakan diri untuk mandi dan bersiap-siap. Aku cek kembali dokumen-dokumen yang perlu aku bawa untuk berangkat ke Kalimantan nanti sore. SPPD, SK, aman. Baju, aku bawa secukupnya dulu. Aku nyaris lupa, kalau Reno sekarang suamiku, yang harus aku perhatikan. Aku malah sibuk sendiri, sampai tidak menyadari, Reno ternyata sudah mandi, dan mengajakku sarapan.
Kami, masih sekaku dulu. Hanya seperti sebatas orang baru kenal, yang sama-sama mencoba sok akrab. Kami ber-aku kamu hanya di depan keluarga besar saja. Selebihnya, ya kembali ber-lo-gue. Tak mengapa.
Aku sekarang mulai bisa menata ulang masa depan dengan kekuatan finansial yang lumayan begini. Di Kalimantan nanti, aku harus tetap berhemat, mengumpulkan banyak uang untuk biaya sekolah spesialis. Paling tidak, di Jawa nanti sepulangnya dari PTT, aku tidak lagi pusing memikirkan biaya. Hanya tinggal mencari rekom, dan “jalan” menuju spesialis. Satu PR sepertinya ‘done’.
Kenapa aku memikirkan hal seperti itu? Satu, sejak kecil aku hanya berdua dengan ibu, dan terlatih untuk mandiri sejak kecil. Ibu sibuk mencari uang, aku sibuk memenuhi rasa haus validasiku. Jadi, aku harus selalu memikirkan jangka panjang untuk apapun. Termasuk prognosis dari pernikahanku. Aku tidak yakin, sekembalinya dari Kalimantan Reno masih ingin melanjutkan pernikahan abal-abal ini. Dan saat itu terjadi, aku sudah punya pondasi finansial yang lumayan. Dua, aku harus tetap memikirkan langkah-langkah berikutnya untuk bisa sekolah spesialis. Dan, jangan di Jakarta. Aku tidak ingin tinggal dekat dengan Reno.
Mertuaku, ikut mengantar sampai bandara. Mereka, melepas kami dengan tatapan haru dan bangga, seolah aku akan pergi berperang membela nusa dan bangsa. Mereka sepertinya bangga sekali padaku. Iya, aku cantik sekali memang. Kulitku juga mulus, cenderung putih langsat, mata bulat dengan bulu mata lentik dan sorot tajam dan tegas. Badanku juga lumayan tinggi, 167 cm. Aku memakai hijab modis setiap harinya. Entah berapa kali aku diberi penawaran semasa kuliah untuk menjadi model. Sayang, aku tidak tergerak. Aku tidak mau waktuku terbuang. Aku hanya memikirkan kuliah dan nilai saat itu. Aku, cerdas, IPK juga di atas rata-rata. Hanya sayang, orang bilang aku agak sedikit angkuh. Mungkin karena aku terlalu pendiam dulu, dan tidak ingin membuang waktu untuk basa-basi dengan orang.
Mama mertua memelukku lama, membisikkan kalimat-kalimat doa semoga aku diberi kelancaran selama menjalani PTT. Ibuku sendiri, cukup menelepon dan berkata: Nak, berangkat baik, pulang baik. Jaga diri di rantau. Jaga nama baik keluarga, dan keluarga besar suamimu sekarang. Ah, terima kasih Ibu, sudah mengingatkan kalau aku telah bersuami.
Perjalanan dari Surabaya sampai Balikpapan nyaris tidak ada masalah. Hanya, begitu sampai Bandara Sepinggan, aku harus mencari transportasi berikutnya menuju Samarinda. Reno tidak ingin naik bus, jadi kami menyewa mobil menuju Samarinda, dengan waktu tempuh sekitar dua jam.
Apa kalian kira karena Reno ingin supaya kami lebih dekat? Salah. Sepertinya dia malas saja harus berdesakan dengan orang lain. Dia memilih memasang headset, lalu tidur, meski ya, di sebelahku. Tidak ada keinginan dari kami, untuk membuka komunikasi mumpung dekat begini. Aku juga sibuk dengan sms kawan-kawanku yang tidak seberapa banyak itu. Ya, siapa juga yang nyaman berkawan dengan orang sedingin aku?
Sesampainya di Samarinda, aku bergegas menuju Dinas Kesehatan Propinsi sesuai prosedur yang seharusnya. Lalu diberi arahan tentang prosedur berikutnya. Kami menginap semalam di Samarinda, dan keesokan paginya, naik kapal Sungai Mahakam.
Aku sesekali melirik Reno. Bagaimana dia yang terbiasa sat set di Jakarta yang sibuk, harus menjalani slow living di kapal selama 16 jam perjalanan, dengan pemandangan yang nyaris tidak banyak variasi. Kenapa dia mau mengantarkan aku? Jelas itu paksaan dari mertuaku. Sepanjang perjalanan, kami hanya bicara sekedarnya. Misal, tentang rute, dan to do list berikutnya. Yah, gimana lagi? Kami sama-sama tidak nyaman. Semoga ini hanya perkara waktu.
Di kapal, kami malah sibuk dengan laptop masing-masing. Dia, dengan pekerjaannya. Aku, sibuk membaca jurnal-jurnal. Kami berangkat dari Samarinda sekitar pukul enam pagi, dan sampai di Pelabuhan Melak sekitar jam 10 malam. Perjalanan yang luar biasa, bahkan jalan kami limbung begitu turun dari kapal.
Aku bergegas mencari penginapan terdekat. Terbiasa mandiri sejak kecil membuatku selalu berpikir dan bertindak cepat. Beda dengan Reno yang masih sibuk dengan limbung badannya.
Sampai penginapan, dan selesai bersih-bersih dan salat, kembali kami tepar. Meski di kapal nyaris tidak aktifitas berarti, tapi ternyata luar biasa letih. Sama sekali tidak ada yang terpikirkan tentang makan malam. Selama di kapal tadi padahal kami hanya makan roti yang kami beli di bandara.