ANANTA RASA

Wulan Kashi
Chapter #5

4. Takjub


Sedari kecil, aku tinggal di Kota Malang, di rumah yang berada di gang sempit. Padat sekali. Dan kemampuan finansial kami saat itu, membuat kami jarang bisa jalan-jalan ke mana-mana. Sekalinya harus pergi jauh, ya saat aku kuliah di Jakarta. Meninggalkan Ibu sendirian di Malang, yang pontang panting berusaha mencari tambahan penghasilan demi biaya hidupku di Jakarta. 

Jalan-jalan ke alam, mana pernah sempat. Ibuku waktunya habis untuk bekerja. Waktuku habis untuk belajar. Jadi, setelah berada enam tahunan di Jakarta untuk kuliah, lalu mendadak pergi ke Kalimantan membuatku kaget luar biasa, dan mudah takjub untuk hal-hal yang baru kuketahui. Misalnya, keesokan paginya, aku dan Anitha jalan-jalan ke depan rumah dinas menikmati hamparan pasir putih padahal jauh dari pantai. Lihat saja di peta, Dempar dan pantai amat sangat jauh. Kemudian, aku melihat ke atas. Ada sebuah obyek seperti burung tapi besar sekali, terbang berputar putar di atas rumah dinas, dan entah setelah berapa putaran, baru ia mendarat. Dan ternyata itu adalah ayam hutan. Aku melongo. 

Anitha tergelak melihatku yang takjub. Sungguh, aku nggak pernah menyangka ayam bisa terbang setinggi dan selama itu. Ya mungkin karena yang kutahu ayam-ayam di peternakan yang kulihat di televisi. Mana ada yang terbang seperti itu.

"Aku masuk dulu ya, mau buat kopi."

Ucapan Anitha memecah lamunanku. Aku segera mengekorinya. Yang dia maksud dapur tadi malam, ternyata ruangan kecil di sebelah kamar mandi, yang dia fungsikan sebagai dapur. Tidak ada tempat cuci piring. Meja dapur juga tidak ada. Kompor ada di bawah. Dia bersila di depan kompor. Tangannya sudah sibuk meramu kopi sambil menunggu air mendidih. 

"Kamu harus banget ngopi tiap pagi?"

Dia mengangguk. "Nggak ngopi, serasa dihajar kuda kepalaku," jawabnya santai.

"Emang pernah dihajar kuda?"

"Nggak sih, kalau pangeran berkuda sedan, iya. Tapi hatiku yang dihajar," jawabnya lalu terbahak sendiri. Baik, mulai kelihatan lagi bukan ke-absurd-annya?

"Siapa pangeran berkuda sedan?" Aku ladeni saja, lama-lama enak juga ngobrol garing begini. Selama ini hidupku terlalu serius.

"Mas Adhit, suamiku."

Aku mendecak. "Dasar manten baru, masih mabuk cinta."

Dia, terbahak lagi.

"Aku nggak nyangka. Orang minim ekspresimu begini bisa jatuh cinta." Aku jujur, dia memang seperti itu ekspresinya, datar, lempeng. Seolah tidak bisa terbahak sampai hati, maupun sedih yang serius.

Anitha tertawa lirih sambil menuang air ke cangkir kopinya. "Aku juga nggak nyangka. Padahal dulunya aku menyangkal habis-habisan."

"Kenapa menyangkal?"

"Mas Adhit rasanya ketinggian buatku. Terlalu keren, terlalu banyak yang mengidolakan. Aku nggak layak aja rasanya. Jadi, waktu dia menembakku, aku malah kabur." Anitha lalu bersandar di dinding. Lalu sesekali menyendok kopinya, meminumnya sedikit-sedikit dari sendok.

Lihat selengkapnya