"Terdampar" di tempat sesunyi ini tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Jarak rumah dinas dengan perkampungan terdekat mungkin sekitar satu kilometer. Listrik belum mengalir dengan rutin. Rumah dinas yang seakan berada di tengah tanah lapang ini hanya berisi aku dan Anitha. Anitha, lebih pendiam dari pada aku. Aku masih bisa mengeluarkan beberapa kalimat panjang saat ngobrol. Anitha? Singkat saja. Ekspresinya juga cenderung datar. Tapi, entah ada apanya sehingga membuatku nyaman di dekatnya. Bersamanya aku merasa aman. Dia sepertinya bisa kupercaya.
"Nek, beberapa hari lalu aku masih di antara Jakarta dan Malang, yang keduanya riuh dan nyaris hidup 24 jam. Mendadak aku berada di tempat sesepi ini, aku kok agak loading ya," bisikku memecah sunyi.
Ya, saking heningnya di sini, kalau malam kami cukup berbisik. Oh ya, aku panggil Anitha dengan sebutan nenek, karena pikunnya yang luar biasa. Bisa-bisanya kacamata sedang dipakai dia panik mencari. Kalau nggak gitu, kontak motor dinas sudah dipegang masih bingung dia cari. Tapi herannya dia tidak pernah lupa minum kopi. Mana orangnya ternyata agak absurd. Nanti satu persatu akan kutulis bagaimana anehnya dia.
Awalnya aku curiga padaNYA, kenapa aku dipertemukan dengan Reno sampai menikah, lalu dipertemukan dengan sosok Anitha di tempat sesunyi ini. Mereka dua orang yang sungguh absurd bagiku. Reno aneh karena nekad menikahi seseorang yang tidak dia kenal. Anitha absurd karena,.. semua yang ada dalam dirinya itu aneh. Menangnya, dia nyaman untuk dijadikan teman. Ada skenario apa kira-kira Tuhan padaku?
"Kamu nggak nyaman? Atau hanya kaget?" tanyanya datar sambil matanya tetap serius melihat layar ponselnya.
Pertanyaannya membuatku merenung. Seringkali memang begini. Ngomongnya nggak panjang lebar, tapi seketika membuatku berpikir. Iya, apa sebenarnya yang aku resahkan dengan sunyi?
"Kamu merasa sendiri kalau sunyi?" kejarnya tapi masih tanpa melihatku.
"Nggak, aku terbiasa sendiri dan mandiri sejak kecil. Sendiri bukan hal yang nakutin sih."
Anitha tersenyum kali ini sambil melirikku sekilas. Eh, apa ya, Anitha jarang melakukan kontak mata dengan siapapun sejauh kulihat, tapi seandainya dia menatap seseorang, seakan dia melucuti yang dia tatap. Seakan dia mendadak tahu banyak hal.
"Bagus itu."
Lalu dia kembali sibuk dengan layar ponselnya.
"Karena pada akhirnya, ya memang kita sendiri," gumamnya. Pandangannya kosong menatap lidah api lampu minyak yang bergoyang lembut terkena angin mungkin. Setelah beberapa detik, dia melirikku lagi. "Tidur gih, besok sepulang kerja kita milir cari tempat kos. Jangan ngantuk, tahu sendiri medannya kayak apa."
Lalu dia kembali melirik ke satu arah, lalu tersenyum tipis dan kembali melihat ponselnya. Aku merinding sebadan-badan. Anitha terkekeh perlahan melihatku mengusap lenganku yang merinding.
"It's oke, kita memang berdampingan dengan dimensi lain. Sapa menyapa doang. Udah tidur."
"Jangkrik!" umpatku sambil berbisik. Anitha tertawa geli dengan kedua tangan berusaha meredam tawanya sendiri.
"Beneran kamu bisa lihat Nek?" Kalian tahu maksudku bukan, maksudku apa benar dia bisa melihat makhluk dimensi lain.
Anitha mengangguk dengan senyum lebarnya, lalu berbaring dan tidur. Kurang ajar, setelah dia berkata begitu, mana bisa aku dengan mudah bisa lelap? Yang ada aku malah hanya menutup mata tapi tidak bisa tidur. Sampai jam tiga pagi bahkan aku masih tidak bisa tidur. Mau membuka ponsel tidak berani terlalu lama, karena tidak ada listrik untuk men-charge sementara aku kuatir melewatkan kabar dari Jawa. Entah Ibu atau dari mama mertua. Kalau Reno sih aku kurang peduli.
Entah hidup macam apa yang sedang aku jalani ini. Bagaimana aku yang ambisius hendak lanjut sekolah, bisa terdampar di tempat ini? Dan dipertemukan dengan teman yang seperti ini?
Tapi keheningan yang awalnya menyiksa ini membuatku sadar akan satu hal. Keheningan ini menunjukkan, bahwa hatiku terlalu riuh. Terlalu banyak gemuruh yang kupupuk sejak kecil. Aku gelisah karena dadaku yang sesak ini terasa seperti akan meledak dalam sunyi. Sepi ini membuatku tersiksa bukan karena rasa kesepian, tapi karena aku sadar hatikulah yang tak pernah tenang. Sunyi ini hanya menunjukkan bahwa aku sendiri yang membuat keributan, di sini, di dalam hati dan pikiranku.
***
Hasil dari perjalanan panjang menuju tempat ini, ditambah tidak bisa tidur semalaman, membuat lingkar mataku sempurna menggelap. Peduli apa, ini hari keduaku bekerja, aku akan tetap profesional. Lagipula pasien di sini bisa dihitung jari satu tangan saja. Yang membuat waktu berjalan dengan tidak terasa menjemukan adalah kegiatanku berkeliling puskesmas, menyapa dan berkenalan satu-satu dengan para pegawai lain. Sampai siang menjelang pulang, aku yang hendak ke poli gigi menjemput Anitha dihentikan oleh seseorang.
"Dokter, bisakah Kita ikut ke rumah pasien sekarang? Ada dekat saja." (Kita= Anda)
"Sakit apakah Kak? Tidak bisa ke puskesmas?" balasku. Bukannya malas lho ya, hanya murni bertanya. Kalau sampai tidak bisa ke puskesmas, apakah parah sekali? Kalau iya, apa tidak sekalian membawa ambulans saja maksudku.
"Katanya sih tidak bisa bangun dari kemarin, dokter," jawab Kak Bertha. "Saya juga belum kesana, ini baru saja tetangganya yang lapor," lanjutnya.
Aku, menyiapkan stetoskop juga tensimeter dan memasukkan dalam tas. "Masuk wilayah Kak Bertha?"
"Betul Dok,"
Aku sudah bersiap, tak lupa mengajak Si Allien pikun, alias Anitha. Kalau ternyata si pasien ini aman saja, kami bisa langsung berangkat ke Barong Tongkok untuk survei tempat kos bukan. Jadi aku tidak perlu kembali ke puskesmas untuk menjemputnya.
Kak Bertha, naik motor dinas juga, ditemani Kak Dami, driver ambulans yang hapal lokasi di wilayah kerja puskesmas. Wilayah kerja puskesmas kami meliputi sembilan kampung. Dan, jarak antar kampung ini lumayan jauh. Tiap Bidan dan perawat, memegang tanggung jawab pada kampung masing-masing. Hanya, untuk Kampung Sentalar yang lumayan jauhnya, petugasnya tidak tiap hari datang ke puskesmas.