Hidupku sungguh punya banyak kejutan. Dari semula yang harus sangat perhitungan tentang uang, menjadi punya keleluasaan tentang uang. Selain uang kesepakatanku dengan Reno, mama mertua juga mentransferku sejumlah uang yang lumayan, belum lagi uang saku dari Reno. Alasan mereka, biaya hidup di sini ternyata lebih mahal dari di Jawa.
Ya, di satu sisi memang benar. Sekali makan di Melak waktu malam pertama aku dan Reno sampai, sekitar 35 ribu per orang. Sementara gaji PTT jelas tidak cukup kalau aku makan beli terus, tiga kali sehari. Ternyata Reno lumayan jeli memperhatikan urusan sekecil itu. Mungkin pekerjaannya sehari-hari yang berurusan dengan RAB, membuatnya detail pada biaya.
Kejutan lainnya adalah, aku mempelajari budaya Jawa, justru saat di tanah Borneo ini. Jadi ceritanya, tetangga berjarak beberapa rumah dari tempat kos kami di Kampung Jawa, ada yang melaksanakan kegiatan Tedhak Siten. Aku dan Anitha membantu di sana, selagi hari libur.
"Nduk Mar, tolong bawakan sumbo warna merah, hijau, sama ungu ke dapur yo,” pinta Simbah.
Aku tidak mengangguk, tapi memberi sikap hormat bendera lalu pergi ke samping kananku, di mana tumpukan belanjaan tadi pagi teronggok.
Anitha melihatku dengan ekspresi datar seperti biasa, lalu melanjutkan kesibukannya menghias baki untuk tempat jadah nanti. Dia sudah paham kalau penyakit absurd-nya menular dengan sukses padaku. Jadi, dia tidak akan protes seaneh apapun tingkahku.
Di dapur, Simbah lanjut mewarnai beberapa jadah.
“Kenapa kok warnanya harus ini Mbah? Terus kenapa tujuh? Kok mboten lima, sembilan, atau berapa gitu Mbah?” (Mboten= Tidak)
“Nanti meluo pas acara yo, ben ngerti.” (Nanti ikut waktu acara, supaya mengerti)
“Siap Mbah.” Lagi-lagi aku memberi sikap hormat bendera. Bedanya, kali ini lenganku digeplak Anitha. Bukan karena protes, tapi karena lenganku barusan menyenggol kacamatanya. Aku terkekeh. Anitha? Tetap dengan ekspresi datar, melewatiku, lalu menaruh beberapa baki yang sudah dia hiasi dengan cantik.
Aku yang dulu dikenal pendiam, ambisius, dan dingin itu, hanya dalam beberapa hari berubah total. Aku sekarang, absurd, pecicilan, ceria, ramah. Jauh berbeda bukan? Jadi, kalau orang sini mengenalku sebagai orang yang menyenangkan, sedikit banyak itu andil Anitha yang mengubahku.
Sudah jam empat sore. Acara sudah hampir dimulai. Di dalam rumah sudah mulai banyak yang berdatangan. Aku terjebak di dalam, bersebelahan dengan salah satu tamu. Hendak keluar bersama Anitha di teras masih belum menemukan jalan.
Anitha nampak sibuk dengan ponselnya. Mungkin menerima sms dari suaminya. Lalu dia menoleh padaku, mungkin merasa kuperhatikan. Mulutnya memberi kode, yang aku kurang paham. Aku balas dengan kode supaya dia sms saja.
[Dicari Kak Darwis] Sms darinya masuk. Kak Darwis mencariku? Untuk apa? Dia perawat, satu puskesmas dengan kami. Rumahnya di dekat Melak sana. Ada apa dia ke Barong Tongkok sore begini? Mencariku pula.
Aku berhasil berdiri dan hampir bisa melipir ke arah teras, saat Kak Darwis nampak berbincang dengan Anitha. Lalu Anitha memberi kode pada Kak Darwis, yang lalu beranjak masuk.
Tubuh Kak Darwis dibungkukkan sebagai bentuk menghormati beberapa ibu tetangga yang sudah duduk di antara aku dan Kak Darwis. Hanya saja, mulutnya mengucapkan kata yang membuat ruang tamu mendadak penuh dengan gemuruh tawa yang menggelegar. Aku ikut terbahak, bahkan sampai jatuh terduduk. Kurang ajar betul Anitha. Kak Darwis tampak kaget melihat respon kami. Tapi toh akhirnya dia dengan santainya ikut tertawa.
“Saya salah kah?” tanyanya lugu.
Aku belum kuat menjawabnya karena masih sibuk terbahak. Anitha sinting! Entah berapa kali aku memakinya dalam hati.
Setelah tawaku reda, aku memberi kode Kak Darwis untuk ke teras. Menemui Anitha juga, ingin kubantai dia. Tak kupedulikan dulu gelak tawa yang masih membahana di ruang tamu. Kak Darwis mengekoriku.
Sampai teras, kucekik Anitha, yang hanya tertawa datar. Tuh kan? Ada orang se–absurd ini. Sudah membuat kericuhan seperti itu, santai saja dia. Cengar cengir tanpa dosa.