ANANTA RASA

Wulan Kashi
Chapter #9

8. Pada Setengah Perjalanan

Aku mulai terkontaminasi Anitha tentang satu hal ini. Ketika suatu hari dia bersabda: "Duhai Maritol, kalau kamu sudah menguapayakan segalanya untuk sesuatu hal tapi hasilnya nampak melenceng dari segala usahamu, percayalah, ada sesuatu yang baik di ujung sana. Mungkin tidak sekarang, tapi percayalah ini yang terbaik dariNYA, untukmu." Tiba-tiba saja dia berkata seperti itu. Di sebuah malam saat aku menutup laptop hendak tidur. Ah, pasti dia bisa menebak isi hatiku yang kacau.

Terus terang aku memang agak galau. Aku mendadak merasa ragu dan sedikit hilang minat untuk menjadi spesialis. Entah apa sebabnya. Aku diam saja, memilih pura-pura menguap lalu tidur memunggungi Anitha. Abaikan tentang cara dia memanggilku menjadi Maritol. Itu karena dia terkontaminasi Andi, kawan sekampungnya yang kini seatap dengan kami. Kehadiran Andi ini melengkapi sesuatu dalam hatiku. Saat kami bertiga, aku bisa tertawa sampai ke hati. Rasanya aku menjadi punya teman. Yang riil teman.

Andi Diratama, datang setelah kami enam bulan menjalani PTT ini. Malam itu aku dan Anitha sedang menonton televisi di ruang santai kos, saat aku menyadari sesuatu, begitu melihat kalender meja di depanku.

Aku heboh menggoyang-goyang pundak Anitha mengabarkan berita ini. Anitha, dengan gaya santainya seperti biasa, menoleh padaku. Ekspresinya, tetap datar. Hanya matanya yang memberi kode supaya aku menjelaskan maksudku kenapa seheboh ini. Aku menunjuk kalender meja di depanku. "Kita sudah setengah jalan Neeek... sisa enam bulan saja kita disini," jelasku heboh. 

Anitha sepertinya hendak mengangguk-angguk. Sayang terinterupsi oleh dering ponselnya, yang membuatnya bergegas mengambil ponselnya. Ya, suaminya amat sangat posesif sepertinya. Jadwal teleponnya 3dd1 paling tidak. (3 kali 1, bahasa resep obat). Tapi, kemudian alis Anitha terangkat satu, sepertinya menandakan kalau bukan suaminya yang menelepon. Tidak lama, hanya sekitar 10 menitan mereka berbicang. Setelah itu, Anitha tampak sedikit gamang.

"Kenapa Nek?"

Baru dia menyadari, ada aku yang dari tadi memperhatikannya, baru ekspresinya kembali datar seperti biasa.

"Nggak. Tetangga desaku, keterima PTT di sini,"

"Di sini?"

"Kutai Barat juga, di Damai," jelasnya.

"Enak dong jadi ada temen?"

"Iya," jawabnya singkat, tapi mengambang.

"Dokter umum, atau kukut?" (Kukut= gigi dalam bahasa Dayak Benuaq)

"Umum, cowok, ganteng, single, belum nikah, mantan pemain basket, banyak yang naksir." Tiba-tiba Anitha menjelaskan panjang lebar, tapi lalu tersenyum usil.

Lihat selengkapnya