Akhir Agustus 2011, ada libur lebaran yang cukup panjang. Aku sudah jauh-jauh hari berangan-angan akan lebaran di Malang. Aku punya banyak rencana to do list nanti di Malang. Mulai dari kursus menyetir mobil, mencari rumah baru untuk aku dan ibu di lingkungan yang tak lagi julid, dan lain-lain. Libur lebaran memangnya masih ada tempat kursus menyetir yang buka? Jangan salah, dengan kekuatan uang, ada saja jalan menujunya.
Kami, tiga serangkai memilih milir dengan jalur kapal Mahakam, demi menghemat biaya. Kami turun di Loa Janan, dan kemudian naik bus menuju Balikpapan, dan baru naik pesawat, tujuan Surabaya.
Tapi, ternyata hanya rencana. Karena di bandara, mendadak mama mertua menelepon, dan memintaku pulang ke Jakarta. Nanti setelah Salat Idul Fitri, kami baru berangkat menuju Malang melalui jalur darat. Rombongan dua mobil. Mama, Papa, Reno, Om dan Tante Reno, bersama kedua anaknya. Kecuali adik kandung Reno, dia bekerja sebagai jurnalis dan kena piket lebaran. Seandainya Reno yang meminta, aku sudah pasti mudah saja menolaknya. Tapi, kalau Mama yang meminta, entah kenapa aku mudah sekali luluh.
Dulu, saat pernikahan yang prosesnya amat sangat cepat dan mendadak itu, mana sempat aku menghapal semua keluarga besar Reno. Sekarang, sepanjang perjalanan dari Jakarta menuju Semarang, aku baru mulai bisa menghapal satu demi satu termasuk rangkaian cerita dari mama. Jadi, Mama dan Papa mertua ini asal dari Magelang. Sementara adik dari papa, dosen di Jakarta ini, menikah dengan seniman bernama Om Pandji, asal dari Semarang.
Jadi, kami beriringan begini, sampai Semarang. Mobil Om Pandji yang berisi istrinya, Arga si sulung dan Dinda, akan mampir Semarang dulu, sedangkan kami langsung menuju Magelang. Nanti, Om Pandji juga akan menyusul ke Magelang. Kami menginap dulu di Magelang, lalu keesokan harinya, baru kembali beriringan menuju Malang.
Ya, aku merasakan kehangatan dari dua keluarga ini. Aku yang terbiasa hanya berdua bersama Ibu, tiba-tiba merasakan kehangatan keluarga seperti ini. Awalnya terasa asing. Rasa yang tidak kukenali pasti. Tapi akhirnya aku paham, inilah keluarga.
Dua keluarga ini, warna-warni. Papa yang kontraktor, Mama ibu rumah tangga yang sering ikut papa ngantor demi menemani, dan kadang membantu sebisanya, yang penting tidak sendirian di rumah tanpa kegiatan, atau buang waktu dengan kegiatan hura-hura semata. Reno, bekerja di kantor Papa. Adiknya, jurnalis.
Om Pandji, pelukis. Istrinya, dosen. Arga, sarjana hukum yang sekarang bekerja sebagai fotografer, sesuai hobby-nya. Dinda adiknya, pemain teater dan fotografer juga. Tidak ada anak dari Om Pandji yang menjadi ilmuwan seperti Tante Nadin, ibu mereka.
Arga, usianya sekitar 3-4 tahun di bawahku. Jadi, obrolan kami masih nyambung. Dinda, adik Arga, juga relatif enak diajak ngobrol. Yah, meskipun aku amat sangat tidak paham dunia fotografi. Mereka berdua, kakak beradik itu ngobrolnya tentang upgrade lensa-lah, tentang filter cahaya lah. Tapi, kalau ada aku, mereka membelokkan percakapan, tentang duniaku. Juga, tentang lika liku masa PTT, tentang bagaimana Kabupaten Kutai Barat, tentang bahasa di sana, dan lain-lain.
Sekalian saja aku tunjukkan foto-foto di ponselku. Foto Lamin Eheng yang kulewati tiap hari menuju tempat kerja. Jantur Inar, yaitu sebuah air terjun di Kecamatan Nyuatan, yang masih menjadi wilayah kerja puskesmas tempatku bekerja, dan lain-lain. Betapa mereka berdua excited sekali. Seandainya dekat, sepertinya mereka ingin sekali kesana untuk hunting foto.