Perjalanan panjang yang kulalui saat liburan kemarin membawaku pada banyak hal yang baru kuketahui tentang keluarga besar Reno. Dan sejauh ini semakin banyak kesan baik tentang mereka. Hanya satu yang masih tak bisa kumengerti, yaitu justru tentang suamiku sendiri. Reno Wibowo, S.T. Hanya itu yang aku tahu, dia sarjana teknik sipil, bekerja di kantor ayahnya. Dia dulunya bergaya hidup hedon. Pacar di mana-mana, dan banyak perempuan yang memanfaatkannya. Reno yang tampan dan berduit seperti menyedot perhatian para penipu juga. Intinya, dari delapan orang anggota keluarga dari pihak mertua ini, hanya Reno yang error. Ya meskipun kabarnya setelah menikah denganku jadi berubah.
"Apa-apaan engkau, wahai Kisanak!"
Barusan, yang memekik sok dramatis pada Andi itu, Anitha. Lamunanku langsung ambyar. Kami, sedang masak bersama malam ini. Besok, aku dan Anitha harus berangkat jauh lebih pagi ke Dempar, karena kami ada kegiatan ke Sentalar yang lumayan jauh. Kami belum pernah ke pustu (puskesmas pembantu) di Sentalar itu. Besok, rombongan dua mobil menuju ke sana. Jadi, daripada besok kami terlambat, mending masakan untuk sarapan dibuat malam ini.
Tapi, sepertinya tadi Andi merusak suasana sehingga Anitha sampai protes begitu. Jangan dikira karena hal besar. Biasanya remeh saja, misal perkara kebanyakan garam, atau entah kali ini apalagi tema keributan mereka. Biasanya, kalau aku datang, bukannya untuk menjadi penengah, tapi justru memperkeruh suasana. Tak mengapa, hal-hal seperti ini, kelak pasti akan kami rindukan.
Andi, seperti biasa tidak panjang lebar menjawab. Kadang cuma nyengir usil, kadang menjawab sepatah dua patah kalimat. Apalagi, mendadak Anitha mematikan kompor dan berjalan menjauh, sambil mengangkat telepon dari suaminya pasti. Karena kalau bukan dari suaminya, dia tidak akan menjauh dari kami. Pernah dia tidak menjauh, dan sengaja kami, terutama aku, mengganggu telepon itu dengan mem-bully, atau sekedar membuat suasana berisik, dan macam-macam upaya kami. Ah, dan bukan hanya Anitha yang jadi korban. Kami semua, saling jadi korban. Tapi entah kenapa, kami makin sayang satu sama lain.
Hanya saja, kali ini agak lama Anitha menyepi. Bahkan sampai aku selesai masak dan berangkat tidur, dia masih belum selesai. Sendirian dia menerima telepon di salah satu sudut ruang tamu kos yang melompong dan hanya ada selembar tikar tempat kami biasa nonton televisi bersama itu.
Aku sengaja tidak mengganggunya dulu malam ini. Aku ingin tidur saja, semoga bisa dengan mudah aku tertidur, mengingat aku sendiri belum pernah ke Sentalar, dan belum ada gambaran seperti apa menuju ke sana.
***
Pagi hari, saat aku selesai salat dan ke dapur hendak membuat kopi, Andi berbisik padaku. Mengabarkan, sepertinya ada sesuatu terjadi pada Anitha dan suaminya. Karena setelah telepon yang panjang itu, Anitha jadi muram. Bahkan tadi malam setelah Andi keluar membeli bakso, pulangnya masih kena sambit sandal Anitha. Tentu tak sengaja. Anitha memang kadang anarkis. Kalau bete, dia bisa melempar apapun di dekatnya, dengan ekspresi yang tidak mudah untuk dibaca. Pendiam kalau marah nyeremin memang.
Baik, aku harus berhati-hati dulu. Jangan memperparah mood-nya. Sebagai antisipasi juga, mending aku yang menyetir menuju Dempar. Aku nggak ingin Anitha yang bisa jadi masih bete, membuat kami tanpa sengaja terperosok ke jurang di Gunung Terajuk. Ah iya, Gunung Terajuk itu rute yang biasa kami lewati setiap hari menuju puskesmas tempat kami bekerja. Medannya menanjak dan terjal. Padahal sudah rutin kami lewati, tapi kadang ada kalanya kami terjatuh. Biasanya karena telat memindah gigi, sehingga motor dinas kami tidak kuat menanjak, lalu kami terjatuh.
Sepanjang perjalanan, Anitha nyaris tak bersuara apapun. Kalau kutanya, menjawabnya benar-benar seperlunya, meski wajahnya berusaha nampak baik baik saja. Jadinya, sepanjang perjalanan di dalam mobil dobel kabin yang kami naiki, aku juga tak banyak berulah dulu. Andi yang secara rutin menyanyaiku perkembangan terbaru. Mulai dari pertanyaan standar seperti :
Sampai mana?
Gimana medannya?
Cuaca aman?
Anitha baik?