Waktu merupakan hal yang paling berharga bagi sebuah permulaan cinta. Betapa banyak orang larut untuk terus membuka kisah, kisah yang akan dibayarkan pada setiap momen yang tercipta. Banyak orang terjebak dalam lika-liku mendayun haluan pandangan untuk pertama kali, mengikat hati yang berusaha untuk tetap tertutup. Waktu menciptakan awal yang indah untuk sebuah pertemuan. Senyum yang disajikan akan terus diingat dalam ingatan. Abadi mengikat dalam setiap lembaran hari yang diiringi sayup wajahnya pada imaji.
Ada yang bilang, masa sekolah merupakan sesuatu yang indah untuk dijalani. Banyak tercipta momen yang membentuk jati diri, permusuhan, dan termasuk cinta itu sendiri. Ada kalanya pahitnya pertemanan membentuk sebuah permusuhan. Ada pula tatap-tatap mata yang tak sengaja berubah menjadi benih-benih yang disebut sebagai cinta. Cinta tak seperti buah yang jatuh begitu saja, namun terdapat serangkaian proses yang membentuk sekuntum bunga ranum yang perlahan dipetik oleh pemilik cinta. Setiap orang pasti akan selalu mengingat masa-masa orientasi siswa yang begitu menarik itu. Senyum, tawa, serta canda bercampur dalam satu momen kebersamaan. Hati yang penuh keragu-raguan masa remaja kini diwarnai oleh permulaan menuju kedewasaan yang ditempa untuk mengenali lingkungan baru.
Sentak hati mendengar bentakan para senior tentu saja menjadi kecemasan tersendiri, namun itulah daya tariknya. Cemas bercampur penasaran akan wajah manis kakak kelas yang berwajah masam tidak urung membuat setiap diri beranjak pulang. Tidak akan ada lagi momen-momen seperti itu kembali, kecuali di sana.
Setidaknya itulah yang Freya rasakan tatkala itu. Ia sempat takjub oleh lingkungan SMA yang baru hingga ia memikirkan banyak hal ketika bertemu dengan orang baru. Setiap orang membawa barang-barang unik sebagai properti yang diwajibkan oleh para senior. Pikirannya seketika tersentak ketika kecemasan itu memuncak. Freya tidak membawa barang penting yang seharusnya dibawa di hari pertama orientasi ini. Ia telah mencari keseluruh celah tas, tetapi tidak ditemukan tas karung yang sudah ia buat semalaman suntuk itu. Padahal, seluruh tenaganya sudah digunakan untuk menghias karung tersebut dengan motif daerah asal masing-masing.
Cemasnya kini tertuju kepada orang diseberangnya yang habis dimarahi oleh senior laki-laki. Hatinya bergetar ketika melihat wajah cemas teman baru satu angkatannya tersebut, berkabung malu ketika seluruh orang menoleh padanya. Freya membenamkan wajahnya di antara lutut. Ia lupa menaruhnya tadi pagi karena terburu-buru. Kecemasannya bertambah ketika melihat barisan orang-orang yang tidak lengkap membawa atribut, kini diminta untuk melakukan hukuman berlari di lapangan basket. Memang, mengelilingi lapangan basket bukanlah hal yang rumit, tetapi wajah malu ini tak bisa ia tutupi. Seorang senior berawajah sinis pun turut hadir di tengah-tengah mereka yang tengah menjalani hukuman.
“Kenapa?” tanya pria di sampingnya.
Ia tidak menghiraukan pertanyaan tersebut. Mata Freya hanya sibuk memerhatikan barisan di samping pria tersebut yang sudah mulai bergerak menunjukkan seluruh atribut. Sebentar lagi merupakan giliran barisan dirinya.
“Hey, gue tanya kenapa? Lo pucat,” ucapnya lagi.