Pertemuan itu menyisakan rindu-rindu yang selalu Freya ingat dalam lembaran hidupnya. Dari balik senyum pria berparas manis tak bertepi itu, dari sorot mata yang tajam menyentuh hati, menyisakan kilas balik yang akan terus dikenang oleh Freya. Bagaikan rindunya pada bunga sakura pada musim gugur, bertaburan ranum wangi pergantian musim tatkala ia pernah berkunjung ke belahan bumi yang menjadi impiannya. Freya terkatung cinta yang tetap melekat sejak saat itu. Rasa yang ia emban tak pernah berubah. Tetaplah bertahan bahkan bertambah.
Siapa yang tidak tahu dengan pria bernama Raka Azura. Ia selalu tampil menarik setiap saat, memikat para gadis yang sempat menyorot senyuman semanis gula itu. Namanya terkenal sejak masa orientasi sebagai siswa paling pembangkang. Hanya pria itu yang berani menentang para senior yang berkali-kali lebih seram darinya. Namanya kian melejit tatkala berani berdiri sebagai wakil ketua OSIS, walaupun tatkala itu ia masih kelas satu SMA. Tidak ada yang meragukan wajahnya yang tampan. Para kakak kelas berebut mencuri pandang ketika Raka sedang bermain basket di lapangan sekolah, menyuarakan nama Raka yang sedang berpeluh di sana.
Apalah daya, Freya menyadari bahwa dirinya hanyalah wanita biasa. Tidak ada yang patut dibanggakan selain harga dirinya untuk tetap menyukai pria itu. Siapa juga yang menyukai wanita pendiam yang tidak populer sepertinya, apalagi berharap pria itu membalas tepuk hati yang sedang ia dendangkan di dalam hati paling terdalam. Langkahnya selalu terhenti mengingat selalu banyak yang mengantre untuk mendapatkan perhatian Raka. Senyumnya selalu padam berkat sorot wajahnya tak pernah sedikit pun mendekati Freya. Ia tetap di belakang sembari mengagumi keistimewaan seorang Raka, berharap suatu saat Raka akan mengenali dirinya luar dan dalam.
Freya tersenyum mengingat masa-masa itu, walaupun ia sadar bahwa harapannya tidaklah semulus perkiraan. Tetap ia kayuh sepeda gunungnya menuju sekolah di tengah hiruk pikuk pagi yang kontras. Pagi terlalu cepat untuk bergerak, semuanya sibuk untuk memulai hari. Termasuk Freya yang tengah mengejar gerbang sekolah, meskipun gerimis manja menitik di kulitnya.
Tanpa diduga terjadi masalah pada sepeda yang ia kayuh. Pedal tidak berfungsi seperti biasa, hingga pedalnya tidak lagi bisa dikayuh yang mengakibatkan dirinya terjatuh ke tepian trotoar jalan.
Aduh!!!
Tubuh Freya terhempas dengan keras. Ia sempat merintih untuk meminta tolong. Namun, orang-orang tetap melanjutkan perjalanan dengan kendaran-kendaraan mewah yang mereka gunakan. Jangankan berhenti, mengucakan kekhawatiran pun tidak. Hanya tolehan wajah tidak bermakna yang ia dapati dengan menyerngit kesal. Sebisa mungkin ia untuk bangkit, namun lututnya terlampau terasa sakit. Darah dari lututnya terlihat merembes ke permukaan rok.
Dari ujung rintik hujan yang menetes melalui ranting pohon di sekitar, sayup-sayup ia menatap seseorang berpayung tengah menghampirinya. Tatapnya teduh tidak ubah layaknya mendung hari ini. Cahaya bahkan belum membuat cerah sorot matanya yang lurus kepada Freya, berkisar jarak satu langkah dirinya berada. Tanpa diduga, pria itu mengangkat sepedanya tersebut ke trotoar.
“Hati-hati kalau bersepeda.” Ia menjulurkan tangannya kepada Freya. Tanpa ragu sekali, seakan mereka sudah berkenalan sepenuhnya.
Freya menyambut juluran tangannya sembari merintih perih di lutut. Gemeretak tulangnya yang kembali merenggang pun berbunyi. Ia kembali berdiri tegak sembari melihat sepedanya yang tergores.
“Terima kasih sekali.” Freya menatap rantai sepedanya macet. “Rantai sepedanya tiba-tiba enggak bisa dikayuh.”
“Lutut lo terluka,” ucapnya. Ia mengambil sesuatu dari tas miliknya. “Lap dulu lukanya … nih.”