Jika semua ini hanya sementara, tidak mungkin bagi Freya tetap mempertahankan cinta yang ia pendam. Pendaman rasa yang kadang membuatnya menyadari realita, tak urung mematahkan semangat Freya untuk berusaha bisa ditatap olehnya. Semakin hari semakin tumbuh melalui riak wajah Raka yang selalu menunjuk senyum. Bak kata anak gunung yang tumbuh perlahan, begitulah rasa yang terpupuk di dalam hatinya, tak berhenti mencapai pada puncak yang abu-abu. Tatap mata dalam kerjapan menyiratkan selama ini ia tidak pernah pergi sedetik pun. Akan terus terukir dalam ingatan Freya. Menyambut hari-harinya yang datar dalam seling warna cinta.
Mungkinkah akan berakhir? Freya selalu dihantui oleh pertanyaan itu. Bagaikan menerkam ketakutannya yang sembunyi. Ia tidak ingin rasa ini berakhir. Walaupun suatu saat akan ada ia lontarkan kalimat yang menyatakan bahwa Freya sangat mencintainya. Tersudut di alun-alun realita yang tidak akan pernah Freya sangka, bahwa Raka akan menolak pernyataannya itu. Belum ada sama sekali dalam hidup Freya di mana penolakan seorang pria bersemat padanya. Mungkin hari esok, mungkin lusa, atau suatu hari yang tak akan bisa ia kira. Sementara itu dengan seluruh perasaan yang Freya pendam, ada sekelimut kecilnya hati yang mempersiapkan penolakan itu. Ada realita yang harus diterima dengan hati ikhlas.
Mata Freya ke arah bayang-bayang pria yang tengah menghampiri. Pria tinggi berambut lurus setelinga itu mengulum senyum padanya. Satu hal yang membuat Freya meremukkan roknya menggunakan tangan untuk meredam seberapa gugup dirinya tatkala Raka melakukan itu.
Telunjuk Raka menurunkan komik yang tengah menutupi wajah Freya.
“Lagi sibuk?” tanya Raka.
“Enggak, kok. Gue ….” Freya menutup komik yang sedang ia baca. “Gue enggak sibuk.”
“Kalau nanti sepulang sekolah, juga sibuk?” tanya Raka lagi.
Seingat Freya, ia tidak pernah merasakan sibuk sepulang sekolah. Selalu mengayuh sepeda ke rumah tanpa ada satu pun teman yang ingin mengajaknya menongkrong, seperti murid-murid pada umumnya. Hanya satu tujuan, kalau tidak pekerjaan rumah, setidaknya ia bisa berbaring dengan mesra di atas ranjang.
“Enggak, gue biasanya langsung pulang.”
“Ikut gue, ya?”
Napas Freya terhenti sesaat. Ajakannya seperti mengajaknya untuk mati. Wajah Raka mendekat, Freya menahan matanya untuk tidak tertutup karena gugup.
“Ke mana?” tanya Freya.
“Kita beli pakaian yang bakal lo gunakan untuk fashion show.”
“Oh, ya? di mana?” Freya tidak tahu apakah ada toko yang menjual semacam itu.
“Ikut aja … gue ini tahu segala tempat.” Raka tersenyum. “Tunggu di parkiran mobil, ya … Gue minjam mobil Karin.”