Suara klakson mobil berbunyi ketika Freya berusaha melambai kepada Lani yang baru saja melintas dengan motornya. Terlihat bayang-bayang wajah Raka yang gelap di balik kaca mobil. Bibirnya bergerak, tetapi Freya tidak tahu maksud perkataannya. Ia segera masuk, sudah pasti Raka meminta hal itu.
Aroma mobil begitu kontras dengan wangi parfum Karin yang khas. Melintas memori waktu pertama kali wanita itu tersenyum kepadanya. Wangi mobil kini bercampur dengan nada musik Lo-Fi yang Raka putar. Begitu sejuk suasana yang tercipta, terutama lembutnya suara Raka yang berusaha mengikuti nada.
Deru suara mobil bersuara di jalanan beraspal. Mulut Freya masih terkunci di tengah harmoni yang berselimut. Raka juga tak kunjung mengajaknya berbicara, padahal Freya ingin sekali. Terlintas harapan ia akan selalu berdua bersamanya ketika pulang. Menelurusi jalanan senja yang hangat, ditemani senyum lembut pria itu.
“Itu Arion, kan?” Tiba-tiba Raka bertanya. “Itu sepeda lo?”
Terlihat Arion dengan wajah datarnya mengayuh sepeda milik Freya. Wajahnya terang disentuh cahaya mentari.
“Iya, itu sepeda gue. Tiba-tiba aja Arion minjam karena dia tahu gerbang sudah ditutup sebelum kita kembali lagi ke sini.”
“Oh, begitu. Enggak apa-apa sih. Padahal besok gue bisa minta Karin jemput lo juga.” Raka menghela napas di tengah kalimatnya. “Kalian sepertinya dekat?”
“Tidak juga. Kami jarang bicara,” balas Freya sembari menggeleng.
“Lo suka dia?”
Pupil Freya melebar tatkala ia menoleh kepada Freya itu. Mana mungkin dia menyukai Arion. Andai saja hati ini bisa berteriak, sudah dari dulu rasanya ingin menusuk pria ini dengan perkataan cinta. Meronta-ronta untuk keluar di tengah ketidakmungkinan untuk memiliki. Seakan betapa hinanya dirinya untuk berpendapat cinta. Mendiskusikan semuanya di akhir yang tidak bahagia.
“Tidak! Jangan mengada-ngada.” Nada Freya terdengar naik.
“Haha … santai, gue cuma mengira,” pungkas Raka.
Lima belas menit kemudian mereka tiba di sebuah mall megah di tengah kota. Setelah memarkirkan mobil, mereka berjalan berdua menelusuri lantai dingin sebuah mall. Pemandangan menarik teripta, Freya menjaga jarak untuk tidak berdekatan di tengah para pasangan yang saling berpegangan tangan. Ia hanya memerhatikan pria itu dari belakang sembari mengagumi keistimewaannya.
“Selamat datang di surganya pecinta Jepang,” ucap Raka di depan pintu masuk sebuah toko merchandise semua hal tentang Jepang. Pria itu mengulurkan tangan dan tanpa diduga jemari-jemarinya melingkar di pergelangan tangan Freya.
Freya ditarik oleh seorang pria yang sangat ia sukai. Tidak bisa dipungkiri, wajahnya memerah tak bercelah. Seragamnya pakaian mereka berseiringan dengan pasangan yang turut berkunjung ke sini. Sudah lama sekali ia menginginjan sebuah momen, di mana ia merasa diperlakukan lembut seperti ini. Akhirnya, Freya bertemu dengan titik temu itu. Semesta menjawab harapannya.
“Kimono ….” Freya menyentuh pakaian tradisional Jepang yang dipajang.
Ujung telunjuk Freya menelusuri motif bunga yang terlukis di serat kain kimono yang lembut. Memori itu kembali terputar tatkala tangan Freya digiring oleh orangtuanya untuk mengejar cahaya kembang api di festival malam itu. Letupan bunga kembang api begitu indah memantul di udara. Semua orang bersorak, termasuk Freya yang sedang dipakaikan kimono kecil oleh teman Ayahnya di Jepang.
“Bagaimana? Lo suka?” tanya Raka.
Freya menoleh, bibirnya mengulum senyum terbaik. Tentu, ia begitu suka dengan pakaian ini.
“Gue suka banget!” Freya mengangguk.
“Ini yang bakalan lo pakai nanti waktu lomba.” Raka menyentuh rambut Freya. “Lo pasti cantik memakai ini besok.”