Di antara beribu cinta yang gue sematkan di dalam doa, selalu terselipkan namanya.
Momen tadi malam masih menyimpan pesona tersendiri. Tidak ada pagi yang lebih baik daripada kelopak matanya yang mengerjap mentari kali ini. Terasa hangat ketika menyelinap dalam gelapnya pupil mata. Helaan napasnya lebih santun dari biasanya di tengah langkah kaki yang menapaki jalan berembun. Beban-beban seakan hanya menjadi figuran, terbang terburai tidak lagi mengerumuni pikiran. Kira-kira setengah perjalanan yang ia lalui dihabiskan hanya untuk tersenyum, mengenang betapa bahagia dirinya tadi malam. Garis wajahnya begitu padu, menyesap kata-kata lembut Raka yang masih ia simpan dalam ingatan.
Riang langkahnya membawa ke sebuah halte yang sudah ia ikatkan janji bersama Arion. Setengah tidak percaya, sorot matanya menangkap pria bermata sipit dengan tas ransel bewarna biru yang selalu ia bawa. Pria itu benar-benar datang membawakan sepeda yang telah ia pinjam sehari yang lalu. Di kedua telinganya terpasang headset yang seakan membuatnya tidak peduli dengan lingkungan sekitar.
“Arion,” panggil Freya.
Pria itu tidak menoleh. Telinga yang disumbat musik, tidak dapat lagi menangkap panggilan dari Freya.
“Hey … lo udah lama di sini?” Freya menepuk pundaknya.
Satu ciri khas dari pria itu, selalu tidak ada ekspresi berarti yang ia tunjukkan. Bahkan, secuil senyum pun tidak tampak. Matanya datar menangkap Freya yang sedari tadi menyambutnya dengan senyuman. Ia lepaskan headset yang dikenakan, lalu turun dari sepeda Freya.
“Sudah tiga puluh menit yang lalu.”
Freya terkejut. Cukup lama pria itu menunggu. Bahkan, di kala jam segitu Freya masih bertahan di dalam kamarnya.
“Ngapain lo di sini tiga puluh menit yang lalu? Kita masuk sekolah setengah jam lagi,” balas Freya.
“Ternyata, bersepeda itu lebih menyenangkan, ya?” Arion menyerahkan sepeda itu kepada Freya tanpa menjawap pertanyaan yang telah diajukan.