Salah satu alasan Freya tidak ingin menunjukkan diri di depan orang-orang populer ialah kesombongan. Tawa mereka menyiratkan bahwa selalu ingin diperhatikan. Kumpulan mereka tersimpul bahwa mereka tidak ingin ada yang mendekat. Gelak tawa di keramaian itu menandakan dominasi. Freya tidak mengerti kenapa ia harus menerima semua ini. Seumur hidup tidak pernah baginya mendapatkan musuh, kecuali saat ini. Saat-saat kritis di mana dirinya harus mencari jati diri, menemukan makna kebahagiaan, serta menelusuri lika-liku cinta yang penuh misteri.
Perasaan itu begitu mendalam menyesap kesedihan di dalam benak. Tidak peduli ia rasa sakit di wajah ia rasakan, namun ia tidak menerima jika hati ini dilukai. Ia sudah direndahkan begitu hina hingga menangis tersedu-sedu. Namun, apalah daya jika Freya hanyalah murid biasa yang sedikit pun tidak mempunyai pengaruh. Jangankan pengaruh, teman saja bisa dibilang tidak banyak. Tidak ada daya baginya untuk melawan dan tempat mengadu. Ia masih merasa sendirian di tengah naifnya hati untuk bersedih.
Seberusaha mungkin Freya menyembunyikan bekas cakar yang menggores ujung matanya dengan bedak. Ia takut jika Lani turut marah dengan perlakuan Vioni. Lani tidak akan diam jika ia mengetahuinya, tidak peduli yang ia lawan itu merupakan seorang Vioni. Satu hal yang paling tidak ingin orang itu mengetahuinya ialah Raka. Ia tidak ingin menganggu ketenangan Raka di sekolah ini.
Tangan Freya menjelajahi ujung-ujung buku di perpustakaan. Ia suka dengan perpustakaan, terutama di bagian buku-buku novel dan komik yang berada di rak khusus. Wangi perpustakaan menggugah keinginannya untuk segera duduk sembari membaca dan mendengarkan lagu dengan tenang. Tempat ini terdengar sunyi, meski pun banyak murid yang sedang duduk di meja bundar lesehan. Suasana tenang ini hanya bisa ditemukan di perpustakaan.
Freya terhenti di sebuah buku novel romantis. Langkahnya menetap bukan karena keinginannya untuk bersua segera dengan buku tersebut. Namun, seorang pria tegap dengan rambut lurus setelinga itu tengah berdiri di rak buku novel sembari mendengarkan musik di telinganya. Tangannya terpegang beberapa buku komik yang sudah pernah Freya baca. Senyum Freya melebar, Arion diam-diam membaca buku yang acap kali disebut sudah tidak cocok lagi untuk orang-orang seumurannya.
“Eh, elo Freya ….” Arion menyadari kehadiran Freya. Ia melepaskan headset yang terpasang di telinga. “Mencari buku?”
Freya mengangguk. Sempat ia tatap wajah Arion sebentar, lalu kembali menoleh pada rak buku.
“Iya, gue kehabisan stok buku novel yang akan dibaca,” balasnya.
“Oh begitu, baiklah.” Arion melangkah menjauh.
Begitu aja?
Tak sudi ditinggalkan, Freya mengikuti langkah Arion. Pria itu membawa sesuatu yang membuatnya tertarik.
“Lo suka komik? tanya Freya.
Arion berbalik. Ia angkat beberapa komik yang sedang ia genggam di tangan.
“Ini?” tanya Arion. “Gue kebetulan lewat di sebuah meja dan di sana ada tumpukan komik yang belum dikembalikan.”
“Kalau lo suka, bilang aja ke gue. Gue punya banyak,” ucap Freya sembari tersenyum
Pria itu hanya mengangguk. Tidak lama kemudia ia menarik sebuah bangku untuk duduk di hadapan tumpukan komik yang ia bawa. Tidak ada sedikit pun gelagat Arion untuk mengajak duduk bersama Freya. Ia seakan tidak mempedulikan kehadiran wanita itu. Wajahnya yang dingin serta mata yang selalu sayu itu mengikat sebuah kesimpulan bahwa ia ingin sendiri dan tidak ingin diganggu. Namun, Freya malah ikut di sampingnya.
“Ceritakan gue apa menariknya dari sebuah komik?” tanya Arion tiba-tiba.
Helaan napas Freya terasa berat. Baru kali ini ia mendiskusikan buku bacaan faforitnya ini dengan seseorang. Selama ini, teman-temannya tidak ada yang peduli, bahkan Lani sekali pun. Hanya saja, Lani terkadang ikut membaca bersamanya tanpa mengerti esensi dari cerita komik tersebut.
“Lo bisa temukan hal yang berbeda dari hidup ini. Di sana tersajikan berbagai cerita yang bikin gue tertarik.”
“Apa bedanya sama novel? Bukannya novel juga di dalamnya ada hal-hal yang kadang mustahil ditemukan di hidup ini.”