Sekolah lebih dahulu dipulangkan karena guru-guru akan melakukan rapat penting. Dengan sorak gembira para murid menenteng tas bersiap-siap untuk pulang. Hanya satu orang di sekolah ini yang tidak menyukai terbukanya gerbang sekolah lebih cepat daripada waktu biasanya, yaitu Freya. Ia tidak puas menatap Raka dengan segala karisma, menyorot setiap gerak bibirnya yang menuntun senyum, serta merasakan betapa gugup dirinya tatkala pria itu menatap balik.
Terlalu sempit waktu untuk berlalu, tidak memberikan keleluasaan bagi Freya untuk menikmati semuanya. Romantisme momen yang ia cari hanya sekadar di ujung mata, seperti tatkala Raka tersenyum, membalikkan buku, atau tertawa kecil bersama teman-teman lelakinya. Hanya itu yang bisa dilakukan oleh Freya. Berharap lebih? Ia harus berkabung dengan rasa gugup untuk menjadi yang pertama memulai. Cukuplah pandangan dari jauh ini yang menjadi penghilang risau dan penabung rindu yang akan ia simpan hingga esok hari kembali lagi.
Pulang lebih awal ia manfaatkan untuk pergi ke toko buku untuk membeli komik keluaran baru dan sebuah novel yang menurutnya menarik untuk dibaca. Selain komik, Freya juga tertarik untuk membaca novel. Dirinya jarang jajan di sekolah, lebih baik ditabung untuk hal-hal bermanfaat sepertiitu. Baginya kedua hal tersebut merupakan karya hebat yang tidak semua orang bisa menciptakannya. Butuh renungan yang seksama untuk mengambar ide, serta sentuhan tangan-tangan handal dalam merangkai cerita.
Jalanan aspal sudah menjadi makanan sehari-hari. Tidak masalah jika jalanan macet, sepedanya bisa lihat menapaki trotar yang tersedia jalur khusus sepeda. Selain menyehatkan, ia senang bisa melihat pemandangan cahaya senja yang hangat itu menyorot bulir-bulir keringat di dahinya. Baru saja ia memarkirkan sepeda, terlihat seseorang yang baru saja keluar dari halte bus. Pria tinggi semampai yang bermata sipit itu melangkah ke gerbang toko buku sembari menenteng tas ransel yang terlihat cukup berat. Punggungnya tampak membungkuk menahan beban yang sedang ia sandang. Ia terhenti tatkala menatap Freya yang juga baru saja tiba di parkiran toko buku.
Freya tersenyum, namun dibalas Arion dengan wajah datarnya itu.
“Lo?” tanya Freya. “Kok bisa?”
Arion tetap melangkah melewati Freya.
“Semua orang bisa saja kan ke toko buku?” tanya Arion.
Dingin sekali, decak Freya di dalam hati. Tak sedikit pun raut bibirnya yang terbentuk. Kalimatnya terdengar kecil dan menusuk. Namun, Freya tetap mengikuti pria itu dari belakang.
Merasa tidak peduli, Freya acuh tak acuh menapaki langkah Arion yang telah ia lalui. Hingga naik ke lantai dua, Arion tidak mempermasalahkan jika Freya berjalan mengikutinya. Hingga tiba di suatu rak buku, Arion berbalik dan menyorot Freya dengan tajam.
“Lo ngikutin gue?” tanya Arion.
“Gue mau ke rak komik,” balas Freya.
Ia menghela napas, lalu kembali melanjutkan langkah. Memang, ia sedikit risih jika diikuti dari belakang seperti ini. Lebih baik jika wanita itu bersanding di sampingnya.
Freya melihat Arion menarik sebuah komik dari raknya. Dari cover komik tersebut, terdapat seorang karakter lelaki yang tengah menggenggam sebuah pedang. Itu merupakan komik yang juga Freya incar karena ia selalu mengikuti alur komik tersebut setiap bulannya.
“Lo suka komik itu juga?” tanya Freya. “Ceritanya seru, gue penasaran jika musuhnya itu merupakan kakak kandungnya sendiri.”
Tangan Arion melemparkan komik tersebut kepada Freya. “Lo nyari ini juga, kan?”
“Lah, kok lo tahu?” Freya terheran-heran.
“Setiap orang yang hobi baca komik, selalu mengincar komik ini.”
“Termasuk lo berarti?” tanya Freya.