Tak sebanding laksana langit biru sedikit berawan, berbanding jauh dengan tatap wajah pria itu yang begitu teduh. Raut wajah bukan seperti hati yang berkecamuk, tampak tenang tanpa irama. Bergerak diam-diam merengkuh senyum dalam hati yang tak tersentuh, matanya selalu menyimpulkan itu. Freya tahu, betapa jelinya ia memerhatikan celah itu. Ia tampak tersenyum, hanya saja tak semua orang menyadarinya.
Adakah orang tersenyum tanpa senyum?
Harusnya bibir itu bergerak membentuk garis-garis yang menghargai keberadaan seseorang, lalu akan dibalas balik dengan perlakuan yang sama. Perlu pula mengadakan mata yang sedikit memicing agar terlihat alami atau pun kepala yang bergerak miring agar semakin terlihat ramah. Namun, semua itu tidak berarti bagi Arion sendiri. Diamnya terlalu kaku, dan kakunya sangat sunyi untuk dirasakan. Ataukah hatinya saja yang tersenyum? Hingga tak semua orang tahu bahwasanya ia benar-benar tersenyum.
Masih terpikirkan oleh Freya sepanjang jalan basah yang dilalui bus bersama. Rintik hujan menitik deras di balik jendela, membasahi setiap celah yang tak tersentuh, mengairi hati yang ingin dibasahi. Freya di sana terduduk dalam renungan pagi yang tak henti, berharap pria di sampingnya kembali mengajak berbincang. Ia tidak berharap pria itu kembali membawanya ke dalam permainan sunyi yang acap kali ia perankan.
Bus berhenti di perempatan jalan yang tak jauh dari sekolah. Mata Freya hampir saja jatuh dalam lelap tidur sejenak. Udara bus yang begitu dingin, menambah sensasi kantuk tersendiri. Berbeda hal dengan Arion yang masih bertahan duduk tegap tak berubah. Tangannya yang sedari tadi masih tergenggam payung basah, kini ia gerakkan untuk bersiap dikembang.
Ingat ga lo kalau kita tadi bareng?
Sedikit saja pria itu menoleh, Freya pasti sedikit lega karena ternyata Arion menyadari kehadirannya yang sedari tadi tidak dianggap. Namun, hal itu masih bertahan hingga Arion melangkah ke arah pintu bus yang terbuka otomatis.
“Hati-hati licin,” ucapnya tiba-tiba.
Oh, anak ini ternyata tidak bisu.Freya mengangguk sembari membentangkan payungnya. Langkah mereka menyeberang ke halte bus untuk melanjutkan perjalan menuju sekolah.
Jika semua hal yang diawali bersama akan selalu dijalani berdua, maka kali ini Freya salah. Pria itu berjalan lebih kencang tiga meter darinya. Langkahnya yang lebar hanya bisa Freya tatap dari balik jejak-jejak kaki becek sepanjang jalanan trotoar. Sekali lagi, Arion masih tenang walaupun badai sekali pun. Rambutnya yang berkecamuk tak seperti wajahnya yang dingin.
Sebuah mobil mewah melintas tepat di kanan Freya. Hampir membasahi sepatunya, tapi bukan itu yang menjadi fokus utama. Nanar yang ia tatap berjumpa pada sebuah titik di mana ia melihat pandang wajah Karin dari balik jendela mobil. Bukan ia yang mengendarai, tetapi seorang pria. Sesuatu yang menimbulkan retak remukan yang memanjang sepanjang batinnya.
Lama kelamaan begitu teruk terasa. Yang selama ini ia rasa normal-normal saja, tetapi terdapat ketidaknormalan di balik kedekatan itu. Terlalu banyak rahasia yang mereka simpan dan Freya tidak tahu itu. Tatap wajah itu, sentuhan tangan Raka dibelai tangan Karin, semua itu sudah berkali-kali Freya lihat. Bergeming wajahnya menarik kesimpulan jika ia bukanlah siapa-siapa di balik cerita ini. Hanya figuran yang berusaha bergerak di dalam skenario. Tak bisa apa-apa tanpa perintah untuk keluar.
Lama Freya berhenti untuk menyadari realita. Ia balikkan posisi wajahnya dan ia dapati Arion tengah menunggu di sana. Bayang-bayang tubuhnya yang tersapu hujan, perlahan jelas tak bertepi. Ia bergerak mendekat dengan mata yang menyipit tanpa bibirnya yang bergerak. Satu hal yang begitu langkah akhirnya tumbuh tatkala akhir.
Arion akhirnya tersenyum.