Satu kata percaya yang direngkuh erat-erat dari sambut mesra teman-teman menjadi hal yang begitu istimewa. Keistimewaan itu tampak berarti dengan sebuah kehadiran yang hangat. Menelusuri labirin rasa untuk menemukan inti perasaan. Menyentuhnya hingga bergeliat akan malu. Binar-binar kebahagiaan pun memancar terang dari sorot mata yang ditunjukkan. Sentuh manja tangan-tangan lembut itu tak bisa terukir dalam kata-kata. Tulus menyambut Freya yang baru saja turun dari panggung. Semua rintangan sudah disibak ke sebuah titik terang, yaitu rasa tidak ingin menunggu akan sebuah hasil.
Terlalu lurus perasaan ini dalam sayup degup dada yang berdebar tatkala Raka memeluk Freya dengan erat. Diikuti dengan Karin dan Zeta yang sama-sama merengkuhnya dengan kuat. Mata Freya berkaca-kaca menatap ketiga temannya yang begitu peduli tanpa menuntut syarat. Tampak tulus dirasakan makna sebuah cinta. Cintanya kepada sahabat, sekaligus cinta kepada hati yang memaksa untuk terus menatap. Pada akhirnya, menyeretnya keapada lubang hitang tak bercelah, tersesat dalam lembutnya cinta yang menyeret.
“Lo sempurna malam ini,” puji Raka kepada Freya.
Tangan Zeta mengelus rambut Freya dengan lembut. “Lo pintar juga, ya. Penjelasan lo tentang Jepang luas banget.”
Ia tersenyum. Terima kasih begitu besar tak akan bisa ia jabarkan semua. Tentu saja ia tahu banyak mengenai Jepang. Selain ia pernah pergi ke sana sewaktu kecil, papanya selalu menceritakan pengalaman ketika dikirim ke sana untuk berkerja beberapa bulan.
“Jangan mencemaskan hasil. Yang penting lo udah berusaha.” Karin tersenyum.
“Iya, terima kasih banyak ya teman-teman. Gue jadi terharu ….” Freya mengucek matanya yang lembab.
“Yah … malah nangis,” ucap Raka sembari menunjuknya.
“Ini bukan nangis, gue terharu,” balas Freya.
“Menangis itu merupakan keluarnya air mata yang disertai dengan emosi.” Raka tersenyum. “Paham, kan? hahaha.”
“Bisa aja lo. Btw … kita mau ke mana?” tanya Freya.
Karin mengangkat jam tangannya. Dahi mengernit terpikirkan sesuatu.
“Kayanya gue harus balik lebih dahulu. Kalian tahu sendiri kalau gue ada jam malam, kan?” Karin memajukan bibirnya.
Zeta terlihat menangguk. “Karin pulang, gue juga pulang. Sekarang udah jam sebelas malam. Tadi, gue dengar Karin kena omel sama orangtuanya.”
“Lo dengar itu?” tanya Karin.
“Iya, gue dengar dari luar. Haha ….” Zeta tertawa, “Lagian, suara orangtua lo kedengaran sampai keluar.”
“Yaudah, deh. Ikuti aja kata orangtua. Gue dan Freya bisa nunggu pengumuman di sini, kok,” balas Raka.
“Iya, kalian duluan aja. Enggak apa-apa, kok.” Freya menangguk.
Tampak sorot mata murung dari wajah Karin. “Benaran enggak apa-apa? Gue jadi enggak enak.”