“Freya, lo ngapain?” Arion membenarkan pakaian kimono Freya yang kusut.
Freya terdiam sejenak. “Lo kenapa di sini?”
“Harusnya gue yang bertanya, kenapa lo bisa lari-lari begini? Kalau jatuh bagaimana?” tanya Arion.
“Gue mau ke depan panggung. Raka sudah menunggu di sana,” balas Freya.
Suara seorang perempuan membuat Freya menoleh ke kanan. Wajahnya tersenyum menatap layar kamera digital yang tengah ia pegang. Kemilau wajah tampak cantik dengan rambut panjang tergerai sedikit bergelombang. Matanya bulat berhias alis mata tegas memanjang hingga ke sudut yang rapi. Binar-binar matanya tak terelakkan, ia mendongak melihat Arion seraya tersenyum senang.
“Akhirnya gue dapat foto terbaik malam ini,” ucapnya. Lalu, ia menunjuk Freya. “Lo Freya, kan? Yang satu bus sama Arion waktu itu?”
Mata Freya menyimpulkan ketidaktahuan. Ia mengangkat bahu untuk Freya, mengisyaratkan bahwa ia tidak mengenal wanita itu. Tidak lama kemudian, Arion memutar tubuh Freya ke hadapan wanita itu.
“Kenalin, dia Dinda. Temen gue. Anaknya sedikit gila, jadi jangan heran.”
Cantik banget, puji Freya di dalam hati.
“Gue Dinda.” Dinda menjulurkan tangannya untuk bersalaman. “Pasti lo enggak mengenal gue. Tapi, gue tahu lo. Arion cerita.”
Freya menyipitkan mata kepada Arion. Ternyata diam-diam anak itu membicarakan dirinya kepada Dinda.
“Gue Freya. Satu sekolahan sama Arion. Ngomong-ngomong, Arion cerita apa ke lo?” tanya Freya sembari menyalaminya.
Dinda tertawa sejenak.