Satu kata bahagia yang terucap dalam helaan napas panjang telah terukir pada satu malam. Rindu menguak sebuah rahasia bahwa ia ingin mengulangi kenangan itu kembali. Bagaimana peluk manja teman sejawat memeluk dirinya sembari menuang harapan yang ingin dituai. Penuh sudah tangan Freya membuka matanya untuk menyatakan bahwa dirinya bisa. Bisa untuk mengukir lekuk bibir pada sebuah senyuman. Hati membesar kepada keikhlasan, rasa berbicara kepada ketulusan.
Terpajang sudah piala juara tiga lomba modeling pakaian kimono pada festival budaya Jepang tersebut. Di balik kaca lemari mereka menatap betapa megahnya piala kecil itu. Tingginya hampir selutut dengan ornamen berwarna emas berkilau. Cahaya mentari yang merambat melalui jendela menambah binar-binar penampilan piala tersebut. Tidak menuntut kepada ukuran, tetapi kepada makna yang tersimpulkan. Ada asa yang berbicara di sana, ada keringat yang berucucuran di sana, sekaligus air mata yang sempat membasahi.
Semua menghela napas lega sembari merangkul satu sama lain. Prestasi pertama mereka dalam sejarah membangun kembali club Jepang yang bertajuk Yatta, nama yang menyiratkkan semangat untuk bangkit kembali. Tidak sia-sia rasanya mereka tetap memperjuangkan club tersebut yang tengah berada di ujung tanduk minggu ini. Di ambang hilangnya eksistensi sebagai club resmi dari sekolah.
“Kepala Sekolah mengucapkan selamat buat kita,” ucap Raka sembari menatap piala tersebut.
“Benarkah?” Karin menoleh dengan cepat.
“Beberapa orang di kantin juga membicarakan kita,” sambung Zeta.
Freya menunduk tatkala mendengar itu. Ia merasa gugup karena ia turut andi dalam menciptakan suasana ini. Dalam hatinya ia tersenyum gembira tanpa ditunjukkan.
“Benar, tadi gue bicara sama Kepala Sekolah. Sekaligus meminta perpanjangan waktu buat mencari anggota baru,” balas Raka.
“Bagaimana responnya?” tanya Freya.
Raka mengangguk. “Jangan remehkan seorang Raka dalam mempengaruhi seseorang. Kita diberi waktu seminggu lagi.”
“Benarkah?” Karin menggenggam pundak Raka.