Anantara Rasa

JAI
Chapter #25

24. Menatap Jauh



Semesta menjawab dari celah tangan yang terisi satu sama lain, memberikan makna bahwasanya sesuatu yang diharapkan bisa terjadi. Tak ada subtansi di dunia ini yang benar-benar tidak ada, barangkali sama sekali belum terlihat atau pun belum terjadi. Waktu menunjukkan kepada setiap manusia agar terus berharap, tanpa pernah sama sekali mengeluh. Akhirnya, keluhan itu merupakan antitesis dari sebuah harapan. Agar ia terwujud, teruskan harapan itu hingga menjadi bunga-bunga sakura yang ranum di ujung musim semi. Ranum seharum cinta yang menyatu, meskipun hanya bertatap satu, bertepuk satu, tanpa ada jawaban balik.

Cinta tetap saja cinta. Meskipun berlabuh kepada siapa, untuk siapa, dari siapa, cinta akan disebut juga dengan cinta. Hati bukanlah sebuah surat yang harus dibalas. Ada banyak surat yang tak harus dibalas. Begitu pula cinta bagi Freya. Hatinya akan terus menatap tanpa harus ditatap balik oleh cinta itu sendiri. Meskipun cintanya bertepuk sebelah tangan, ia akan terus menepuk cinta itu agar terus bergema. Tidak perlu gema tepukan cinta itu terdengar oleh orang lain, cukup untuk dirinya sendiri. Membahagiakan diri merupakan tugas pertama bagi privasi, bukan orang lain. Jika bukan diri sendiri, siapa lagi yang akan melakukannya.

Satu momen terbaik yang akan dicatat dalam buku harian malamnya ialah di saat genggaman tangan Raka bergantung di ujung jemari. Betapa hangatnya tangan Raka yang menyamankan hati itu. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya bahwa seorang pangeran pujaan akan bersedia diri memangku tangannya yang lemah. Tonggakan sentuhan itu membuat diri Freya semakin berharga. Ia tidak serendah itu. Ia bukan selemah yang dikira. Ia tak seperti hujatan yang dikatakan oleh Vioni. Ia cantik menurut versinya sendiri, dihargai oleh Raka yang tersenyum padanya.

Sorak meriah hadirin menebar makna tersendiri bagi Freya. Dirinya berada di samping Raka yang sebelumnya menutun diri Freya melangkah menuju persembahan. Dirinya ada di momen itu, bukan orang lain. Setiap pasang mata menatap dan melihat dirinya yang merasa begitu spesial. Detik berharga itu pun bertambah manisnya dengan nyanyian merdu seorang Karin. Gitar akustik membersamai alunan melodi dari suaranya. Yang tidak kalah berperannya ialah Zeta. Ia maestro riasan yang dipakai oleh Freya sendiri, tersenyum di balik panggung dan tak menunjukkan diri.

Setelah semuanya selesai, barulah Raka memperkenalkan setiap anggota Club Yatta. Freya tahu apa yang dipikirkan oleh murid-murid lain. Ada senyum yang mereka lemparkan dengan makna bahwasanya mereka terhibur oleh ia dan teman-temannya. Namun, ada pula wajah tidak percaya bahwasanya Raka sendiri yang memimpin club Jepang sekolah. Padahal, tak satu pun yang mengira sebelumnya bahwasanya Raka menyukai hal-hal yang bersifat jejepangan.

Namun, tiga hari berikutnya mereka bermenung di ruangan club. Tak ada satu pun murid yang membawa kembali brosur promosian itu kepada mereka. Padahal, syarat pendafataran ialah dengan membawa brosur tersebut. Karin bermenung dengan gitarnya, tepat di tepi jendela. Zeta berkaca pada cermin sembari menyentuh jerawat pada dahi. Sementara Freya sendiri suntuk dengan mengenggam pena, berharap pena itu akan mencatat seseorang yang ingin bergabung. Tak ada satu pun aktivitas yang bisa dilakukan, kecuali bermenung dan menunggu.

Pintu ruangan club terbuka. Seluruh mata mencelang dengan harapan. Namun, setelah itu luntur karena menyadari yang datang ialah Raka sendiri. Kresek besar putih dari kantin sedang ia genggam, lalu terangkat untuk menunjukkan kepada kami.

“Hai, ladies ... bermenung itu adalah sesuatu hal yang tidak bermanfaat.” Raka kembali mengguncang isi kresk tersebut. Terdengar gemericik bunyi makanan ringan di dalamnya. “Gue bawa sedikit makanan.”

Lihat selengkapnya