Anantara Rasa

JAI
Chapter #41

40. Ini Dari Seorang Teman



Tangisnya bergerak ketika seseorang dengan sigap menariknya memasuki ruangan labor komputer. Wangi tubuhnya mengarahkan pikiran Freya kepada seseorang dengan tatapan lemah itu. Pintu labor tertutup pelan dengan bunyi bunyi putaran kunci yang kecil. Tidak sempat Freya menatap wajahnya, pria itu lebih dahulu merengkuh tubuh Freya dalam peluk. Tangisnya pecah dengan isak tangis yang meredam di dada pria itu.

“Tenang, ini gue Arion. Jangan menangis kuat karena Raka nanti akan tahu.” Arion membelai rambut Freya dengan lembut.

Tangan Freya mencengkeram seragam Arion dengan kuat. Isaknya tidak tertahankan, meskipun ia harus menghentikannya segera. Di mana akan dicari detik dirinya menangis karena cinta sebegitu kuat, kecuali di hadapan Arion kali ini. Kenapa realita begitu menamparnya, padahal tidak pernah Freya berharap untuk berlebih. Ia mencintai Raka dengan sederhana, beriring dengan dentum tepuk sebelah tangan.

“Kenapa? Kenapa gue harus menangis, Arion? Padahal gue enggak ada berharap lebih kepada Raka.”

“Karena cinta selalu berharap lebih. Cinta adalah insting manusia, ia harus disampaikan. Enggak mungkin bisa elo pendam.”

Arion menyadari Raka sudah selesai dengan urusannya itu, terlihat dari langkahnya melewati koridor labor komputer. Ia membawa Freya untuk duduk, masih dengan peluknya yang erat itu agar tidak ketahuan oleh Raka dari luar.

“Pedih banget, Arion. Dada gue sakit ....” Freya menyentuh dadanya yang perih itu.

“Sudahlah, jangan dipikirkan. Abisin aja tangis lo di sini biar kita pergi.”

Mungkin tangis bisa dihabiskan, tetapi gundah bertahan lebih lama dari yang Freya kira. Tangan Arion terus menggenggam Freya untuk menuntunnya menghirup udara segar. Matanya terlalu sembab dan merah untuk dibawa ke kelas, seluruh orang pasti akan menaruh curiga. Arion tidak ingin itu terjadi pada Freya. Hanya satu tempat yang biasa dijadikan tempat Arion menenangkan diri, yaitu atap sekolah di mana hanya penjaga sekolah yang bisa menaikinya.

Freya bingung pria itu ingin membawanya ke mana, tidak ada diberitahu sebelum berangkat dari labor komputer. Yang terpenting, kini ia pasrah dengan keputusan Arion menuntun langkahnya. Anak tangga dinaiki empat tingkat, hingga berujung pada sebuah pintu. Arion mengambil anak kunci di kantung celananya, lalu memutarnya pada gagang pintu. Pintu yang terbuka membawa angin yang berhembut kencang, hingga matanya memicing untuk menghindarinya. Tepat setelah Arion mengunci pintu itu kembali, berbunyi suara pemantik api di hadapan bibir Arion. Asap menyeruak dari tembakau yang sedang ia sulut.

Lihat selengkapnya