Anantara Rasa

JAI
Chapter #42

41. Pertanyaan



Resah itu berayun terbuang dalam setiap detik aliran napasnya di hadapan Arion waktu itu. Keluar begitu saja setiap kalimat yang berisikan gundah hati, menyiasati realita agar segera tidak terpikirkan. Pelukan itu akan selalu Freya ingat karena sudah berani menjadi penyesap tangis yang jatuh. Isak yang dikeluarkan meredam pada halus permukaan tubuh pria itu. Belum ada sama sekali orang yang menanggung ucapan tangisnya dengan rengkuh peluk sepeduli itu, hanya Arion yang bersedia memberikannya. Seakan, Tuhan sudah mempersiapkan seorang teman baginya agar menemani Freya di titik yang sudah digariskan sebelumnya.

Bukanlah hal biasa yang menyambung tali pertemuan di kala Freya membutuhkan pundak untuk bersandar. Hanya satu alasan yang menguatkan alasan dari balik momen itu, yaitu mereka saling membutuhkan satu sama lain. Memang sakit cinta bertepuk sebelah tangan, bunyinya tidak terdengar sampai ke telinga pujaan. Hanya suara senyap angin yang berputar di sekeliling telinga, tanpa membawakan berita cinta bahwasanya orang itu pun balas menyukai.

Sejak di mana rengkuh peluk Arion di atap sekolah―meskipun hati Freya masih dongkol dengan niat Arion ingin merokok―Freya memutuskan untuk selalu disamping Arion. Ia tak ingin pria itu pergi karena ia butuh teman sepertinya. Doanya bersambung pada sebuah harapan di mana jangan pernah ditumbuhkan cinta di antara mereka. Pertemanan itu ingin seperti dirinya dan Lani, bahkan ingin sekali Freya mengenalkan teman barunya itu kepada Lani. Keberuntungan itu pun bersemat kepada Freya yang pernah mendengar diksi dari Aron. Dirinya merupakan teman terpilih bagi pria itu.

Sore ini Freya terkantuk di atas meja. Guru tidak kunjung datang ke kelas, padahal Freya sudah letih membuat tugas semalaman suntuk untuk mata pelajaran hari ini. Lani tentu saja senang karena bisa menonton video clip dari idol faforitnya, ditambah lagi mereka mendapatkan layanan internet gratis dari WIFI sekolah. Yang tidak Freya sukai di kala jam-jam seperti ini ialah keadaan kelas bagian belakang yang penuh dengan anak laki-laki. Mereka selalu melakukan hal bodoh dan pembicaraan bodoh yang acap kali menganggu dirinya. Mereka tidak ingin diatur, bahkan Ketua Kelas pun ikut dengan mereka.

Sekilas Raka memandang dirinya dari kejauhan. Ekspresi matanya sudah jelas bukanlah ke objek lain, melainkan kepada Freya sendiri. Seketika Freya tertegun dengan hal tersebut. Sangat jarang sekali Raka memandang ke belakang tepat di titk Freya duduk. Selapis senyum bersemayam, terlontar dari bibir Raka. Hal itu langsung membuat Freya terduduk untuk segera membalasnya.

Tangan Raka berisyarat agar Freya segera datang kepadanya. Namun, Freya masih tidak mengerti dengan isyarat itu. Mau tidak mau, Freya segera mendatangi Raka.

“Lo butuh penghapus dan peruncing buat ngegambar?” tanya Freya.

“Bukan ....”

Lihat selengkapnya