Pertanyaan itu menghantam batinnya untuk menjawab begitu jujur. Bukanlah Arion yang ingin ia jadikan sebagai pendamping, melainkan pria yang sedang menggaduh pandangannya dengan segala tatapan berkarisma.
“Enggak ... bagaimana lo bisa nyimpulin kalau kami pacaran?!”
“Hmm ... kalian pulang bareng, sering bertemu, sepedaan berdua, dan kelihatan akrab.”
Andai saja Raka tahu bahwasanya Freya menyukai dirinya, sudah pasti Raka tidak akan melibatkan pertanyaan itu. Namu, rasanya mustahil bagi Freya membagi cerita perasaannya itu sekarang. Bahkan, Freya belum terlintas berpikir untuk melakukan hal itu. Cukuplah perasaan ini berdiri sebagaimana awalnya dan sebagaimana pantasnya.
“Memang, kami sering barengan. Dia selalu ngikutin gue dan gue seneng diikutin dia. Arion juga orang yang baik sebagai teman, meskipun orang menganggapnya pendiam banget,” balas Freya.
“Lo seneng diikutin sama dia? Berarti lo suka dia, dong?”
“Raka ... gue enggak suka sama dia. Berhenti beranggapan kalau gue suka sama dia, oke?”
Raka mengangguk paham sembari membersihkan ujung bibirnya menggunakan selembar serbet kantin. Ia sudah selesai dengan makanan di mangkuk, sementara Freya masih belum. Sendoknya terlalu kecil untuk menghabiskan makanan sebagaimana Raka lakukan.
“Kalau kalian beneran pacaran, gue enggak ngelarang juga, kok.”
Ia memerengkan wajah. “Ngapain juga lo ngelarang gue?”
“Eh, maksud gue gini ... sebagai ketua club, gue enggak ngurusin masalah privasi seseorang. Arion paling sensitif jika ada yang mencela atau menganggu privasinya.”