Anantara Rasa

JAI
Chapter #44

43. Lo suka Karin?



Ada satu titik di mana seseorang tidak harus melawan, melainkan cara terbaik adalah menghindar. Idealisme Raka yang selalu memperjuangkan hak-hak temannya tersendat, ia harus merelakan tempat itu dan pindah ke tempat yang sebetulnya tidak cukup layak. Raka tahu tempat itu terbengkalai dengan serangga kotor dan atap menghitam. Namun, ia sudah di titik akhir usaha. Cukup perdebatan hingga Kepala Sekolah sampai meninggikan kepadanya. Mungkin, sudah sampai di puncak kemuakan bagi Kepala Sekolah karena harus menuruti perlawanannya tersebut. Ia berharap teman di club, menyadari hal tersebut.

Berbeda dengan Arion, ia sebenarnya tidak peduli apakah club itu memiliki tempat atau tidak. Namun, ia tahu semua ini ada dalangnya. Ia membenci ketika masalah pribadi berdampak luas kepada seluruh orang. Baginya, itu mengangguk hak privasinya sebagai manusia. Seharusnya, wanita itu tidak mencampuri urusan dengki hatinya. Cukup di luar dan tidak menganggui orang yang tidak berurusan. Oleh karena itu, kemuakannya dengan Raka yang berbicara dan keinginannya untuk bertemu dengan Vioni, membuat Arion meninggalkan ruangan.

Benar saja, wanita itu tertawa sombong ketika Arion tiba di hadapannya.

“Itu karena dia udah berani berurusan dengan gue,” balas Vioni dengan santai. “Lagian, kami udah minta ruangan itu sejak lama. Hanya saja, Raka menghalangi kami ke sana. Dasar club baru yang enggak tahu diri.”

“Lo kira dengan begini gue bakalan suka sama lo?” Arion menggeleng. “Ingat satu hal, lo bukanlah tipe gue. Jadi, berhentilah menyukai gue karena itu menganggu.”

“Lo suka sama dia, kan? Karena itu lo melindungi cewek jelek kaya dia! Lo sampah, Arion!” Vioni berdiri dari meja kantin. Sementara itu, teman-temannya yang lain hanya kaku terduduk melihat mereka berdua berdebat.

“Lo enggak perlu tahu siapa yang gue suka, itu bukan urusan lo. Jangan pernah berharap dengan gue, ingat itu! Satu hal lagi, jangan pernah menyentuh Freya. Sekali lo nyentuh Freya lagi, gue enggak peduli dengan seluruh anak basket yang selalu ngelindungi lo itu.”

“Iya! Gue enggak bakalan berharap sama lo lagi! Lo bakalan nyesal, Arion,” balas Vioni dengan tegas.

“Untuk apa gue menyesali hal yang enggak gue inginkan? Berhentilah berimajinasi seolah-oleh gue mau sama lo.” Arion berbalik melangkah pergi dari mereka.

Sudah cukup senja kali ini membuat jantungnya terbakar emosi. Sudah sedari dulu dirinya ingin menghindar dari wanita itu. Mengganggu sekali disukai oleh orang populer seperti dirinya. Ia sulit memiliki hal privasi yang bisa dinikmati sendiri. Setiap hal yang ia lakukan, wanita itu selalu ingin tahu. Arion benci setiap bunyi klakson mobil yang bergemuruh di depan rumah untuk menjemput dirinya, padahal Arion lebih suka berjalan kaki dan menikmati romantisme bus kota yang berisik itu. Hal mendasar dari semuanya ialah Vioni hanya menilai dirinya dari fisik, tidak pernah sebagai diri individu sebagai manusia.

Lihat selengkapnya