Pemikiran negatif itu membenarkan ia tidak pantas untuk dekat dengan Raka dan Arion. Mereka lebih pantas bergaul dengan orang-orang seperti Vioni yang cantik itu. Ia tetap berteman dengan tanpa siapa-siapa, cukup seorang Lani yang pengertian.
Tangis pun masih bersisa dengan sembab matanya di kelas, hingga Lani curiga.
“Mata lo merah kaya enggak tidur satu malam.”
“Gue terlambat bangun, jadi cuma cuci muka. Masih ngantuk banget,” balas Freya tanpa menoleh.
Lani melebarkan tangannya ke pundak Freya. “Tenang aja, lo bukan satu-satunya cewek yang enggak mandi di sekolah ini. Bukan berarti gue enggak mandi, ya? Hahaha ....”
Kesedihannya masih terasa ketika menjalani proses belajar. Fokusnya hilang seperti asap yang disapu oleh angin, hilang tidak bersisa. Yang masih bertahan ialah perasaan negatif yang merundunginya sedari tadi. Begitu sulit ia ceritakan kepada Lani karena ia takut Lani gegabah dan malah ikut camput terhadap Vioni. Ia tidak ingin Lani melakukan hal itu.
Sewaktu jam istirahat, pergilah Freya ke tempat yang paling privat di sekolah ini. Arion pernah berkata jika langit di sana memberikan ketenangan hati untuk bercerita kepada diri sendiri. Keyakinan itu mengantarkan Freya ke atap sekolah di mana hanya Arion murid yang bisa membukanya. Entah ia ada di sana atau tidak, yang pasti pintu itu bisa terbuka dengan tangan Freya. Hanya saja, tidak ada Arion berdiri di sana. Yang ada hanyalah cahaya langit yang terang dengan semerbak harum segarnya hari yang mulai beranjak siang.
Cukup lama Freya berdiri di sana sembari menikmati langit. Ia lipat tangannya di atas pambatas rooftop, lalu ia putar musik yang tenang melalui headset. Ia biarkan angin membawa masalahnya berlalu begitu saja. Ketenangan pun perlahan ia dapati dengan hanya berdiri di sana.
“Freya!” panggil seseorang.
Samar-samar dari telingat yang tertempel headset, terdengar suara seseorang memanggil dirinya. Setelah itu, bunyi hentak pintu yang tertutup pun berbunyi. Freya menoleh dengan cepat, didapati Arion tengah berdiri di sana dengan sebuah kotak bekal di tangan.
“Arion ... gue kira lo enggak ke sini,” balas Freya sembari melepas headset-nya.
“Gue kira lo yang enggak bakalan pernah ke sini. Lo biasanya pergi sama Lani kalau jam istirahat.”
“Lo bawa bekal ke sekolah?”
Arion mengangkat bekal sekolahnya tersebut. “Setiap hari gue bawa bekal. Bukannya gue enggak ada uang buat ke kantin, gue udah terbiasa sejak kecil. Lo mau?”
Tidak ragu untuk mengiyakan tawaran Arion itu. Sarapan tadi pagi tidak lagi mampu untuk mengganjal perutnya. Kantin terlalu jauh di bawah sana dan harus menuruni empat lantai. Belum lagi menunggu pesanan datang, bisa-bisa bel masuk sudah berbunyi. Duduk Arion dan Freya di lantai rooftop. Di hadapan mereka sudah terbuka kotak bekal yang tersusun rapi buatan Arion. Rasa kagum pun terucap ketika melihat seorang pria serapi ini membuat bekal. Bahkan, Arion lebih rapi daripada dirinya.
“Wow, bekal lo kaya bekal ala-ala Jepang gitu. Rapi banget.” Freya menyentuh lauk pauk di dalamnya dengan ujung garpu. Terdapat telur gulung, ayam suir-suir, tomat, dan sayuran lainnya yang disusun begitu apik. “Kayanya lo lebih feminim dari yang gue kira.”
“Jangan banyak omong, makan aja ...,” jawab Arion dengan sinis, “Oh iya, jangan larang gue ngerokok di sini karena lo ada di tempat gue. Oke?”
“Iya ... asalkan jangan bawa gue kalau lo ketahuan.”