Aditya Brahman nama pria itu. Freya mengetahuinya ketika pertama kali mengikuti Masa Orientasi Sekolah. Pada saat itu, Adit sedang menjadi koordinator lapangan. Kerjanya yang mengatur adik-adik tentu saja tak lepas dari bentakanya. Superioritas sebagai senior pada saat itu tengah menggebu-gebu, apalagi karena bergabung dengan OSIS dan berhak melaksanakan orientasi sekolah kepada siswa baru. Tidak hanya dari sana namanya tersohor, sejumlah peristiwa pun menyeret namanya. Terutama ketika melibatkan teman-teman berandalnya yang sering terkena masalah di sekolah. Beberapa kali Adit pun dipanggil orangtua karena masalah itu. Tidak salah Adit sering dicap sebagai siswa pembangkang, lagi berprestasi sebagai anggota band SMA.
Bukan dirinya yang mengetuai kelompoknya tersebut, melainkan orang lain yang bahkan lebih berandal dari dirinya. Namun, Adit suka pergaulan seperti itu daripada mereka mereka yang pendiam dengan segala sopan santunnya itu. Bagi Adit, kebebasan adalah hak setiap indiviu. Kenakalan remaja merupakan hal yang wajar ketika masih di bawah ambang batas keterlaluan. Jujur, ia tidak menyukai mereka-mereka yang selalu tunduk kepada sekolah dengan segala peraturan memuakkan. Baginya, peraturan-peraturan itu tidak masuk akal dan tidak ada subtansinya sekali bagi keberlangsungan proses pembelajaran.
Bayangkan saja, panjang rambut yang melebihi telinga tidak akan mengganggu proses belajar. Sepatu yang berwarna tidak akan membuat para siswa menjadi bodoh. Ada banyak yang mengangguk dengan itu, terutama murid seperti Raka dan jajarannya. Satu hal kenapa ia tidak menyukai anggota OSIS ialah terlalu mengangguk kepada sekolah. Padahal, sewaktu ia masih menjabat sebagai ketua bidang pada saat itu, bukan sekali mereka menjalankan protes-protes kepada sekolah.
Persetan dengan aturan yang tidak sesuai dengan logika, tulisan itu sangat iconic di WC laki-laki. Setiap kali sekolah mengecat WC laki-laki dengan yang baru, selalu ada coretan yang berupa pemprotesan. Tidak ada satu pun yang tahu siapa gerengan penulisnya, kecuali diri Adit sendiri.
“Siapa? Adit?” tanya Arion di ruangan club. Tidak ada satu pun kecuali dirinya dan Freya di sana. Seluruh orang sudah pulang setelah bel berbunyi. Kebetulan Arion dan Freya mendapatkan jadwal piket yang sama.
“Iya, ternyata Kak Adit itu ibunya kenal dekat dengan Mama gue,” balas Freya sembari menyentuh hasil gambaran wajah dari Arion.
“Oh, iya? Itu berita bagus atau buruk?”
Bahu Freya terangkat. “Enggak tahu. Apa dia ngedeketin gue, ya?”
“Gue kenalan sama lo, apakah itu berarti gue ngedeketin lo?” tanya Arion balik.
“Yah ... dingin banget sih jawabannya. Gue bingung nih maksud Kak Adit kenalan sama gue.”
“Bagi gue, pantas aja dia kenalan sama lo. Lo bilang dia baru pindah dan butuh teman, ditambah lagi kedua orangtua kalian berteman. Jangan kepedean dulu.” Arion menarik kertas HVS di tangan Freya yang berisikan gambarnya tersebut.
“Kalau dia beneran ngedeketin gue, bagaimana?”
Mata Arion memicing. Ia benar tidak menyambung dengan pembicaraan seperti ini. “Itu tergantung lo mau deket sama dia atau enggak. Dan lo suka sama Raka, kan? Ya udah ... jaga jarak aja.”
“Gue mikir itu juga, sih.”