Anantara Rasa

JAI
Chapter #54

53. Hancur



Pernahkah hati yang teguhnya bukan main itu ternyata hancur di dalam satu waktu? Bunyi pecahnya bergema dalam ruang sunyi yang dingin, persis seperti malam penuh badai menghantam. Tak akan mampu mata menatap lagi, cahaya sudah redup oleh serpihan hati yang berderai pecah. Kepingan-kepingan itu terpisah jauh melekat dengan pembatas yang berupa jurang dalam sekali, gelap, dan dingin. Merengkuh kepingan-kepingan itu tidak bisa kembali karena rumah tempatnya bernaung sudah hancur diderai oleh air mata. Yang hanya dilakukan ialah mengikuti arus air dari jurang tinggi itu, mencari tempat bernauh, yaitu hati yang baru.

Jikalau cinta itu menyakitkan, benar rasanya rindu itu begitu perih dirasakan, terutama semenjak momen tangan bergandeng mesra itu. Adegan tersebut kembali tertayang dalam lamunan Freya yang singkat atau buah tidur yang tidak sengaja singgah untuk menggaduh ketenangannya. Benar sekali kata orang bijak, cinta menjadi kekuatan yang melemahkan, di sambing kekuatan yang bisa diberikan. Ia termasuk yang dilemahkan oleh cinta itu sendiri. Tangisnya tak henti keluar di ujung kamar, sembari mencabik selembar kertas buku harian yang terlalu banyak disebut nama pria itu.

Tak berkesudahan hati memikirkan itu, terlalu kuat menancap pisau yang disebut oleh patah hati pada Freya. Sulit untuk mencabut ingatan yang perih itu, Freya biarkan tetap tertanam hingga sampai ada seseorang yang bisa mencabutnya. Sudah tak bisa ia lihat lilin kecil yang ia hidupkan pada Freya, bahwasanya suatu saat ia akan bersama pria itu, meskipun ia harus memendam perasaan selama mungkin. Namun, cukup sudah harapan kecil itu sirna dalam satu malam. Raka sudah menjadi pemilik hati seseorang. Seseorang itu merupakan orang yang ia kenal dengan baik, seseorang yang ia kagumi, dan seseorang yang ia hormati. Pada akhirnya ia sadar, seluruh kedekatan Raka bersama Karin ternyata menyiratkan sesuatu. Masing-masing dari mereka menitipkan cinta.

Bagaimana bukan jika sudah seperti itu, mereka tidak saling menitipkan cinta. Freya tahu sentuhan cinta maupun bukan, tangan yang saling tergenggam menandakan sebuah hubungan yang erat, yaitu romantisme asmara, bukan romantisme pertemanan. Kepala yang menindih bahu bidang Raka menyimpulkan bahwasanya Raka mengizinkan romantisme itu dilihat oleh setiap orang yang menatap. Tidak ada ragu yang ditampakkan oleh mereka waktu itu. Mereka benar-benar berpacaran, sementara itu Freya tetap di belakang merasakan retaknya hati tatkala melihat kemesraan.

Freya mengecamkan satu hal di dalam hatinya, Raka bukanlah miliknya. Raka bebas memilih siapa saja untuk memetik cinta darinya, meskipun bukan dirinya sendiri. Hati tidak akan bisa dipaksa untuk memilih. Hati memiliki arahnya sendiri tanpa paksaan. Jika benar Raka sudah memiliki Karin di dalam hatinya, Freya tidak bisa apa-apa lagi. Lagi pula mereka cocok untuk disandingkan berdua, tidak seperti dirinya. Ia patut untuk sendiri dalam keramaian, menantikan ada sosok pria yang akan merubah arah hatinya.

Hingga pagi, Freya masih bermata sembab oleh tangis tadi malam. Terasa sekali tenggorokannya seperti berduri, sakit setelah menelan. Ia terbatuk tatkala memberi makan ikan maskoki pemberian Arion. Tubuh Freya panas, tetapi ujungnya dingin seperti membeku. Angin segar pagi bukannya menambah kesegaran, tetapi malah semakin membuatnya menggigil.

Melihat ikan pemberian Arion, ia merasa bersalah meninggalkan Arion malam tadi. Sungguh, ia terlalu malu untuk menangis di hadapannya. Ia hanya ingin sendiri, oleh karena itu pergi tanpa kata-kata.

Maafin gue, Arion ....

Mama membuka pintu kamar Freya.

“Freya, bangun ... kamu harus siap-siap ke sekolah.” Seketika insting seorang ibu bekerja. Ia tahu bahwasnya sedang tidak ada yang beres dengan anaknya pagi ini. “Freya, kamu sakit? Wajah kamu pucat.”

Lihat selengkapnya