Anantara Rasa

JAI
Chapter #68

67. Dia Ada Di Sini



Mengakui merupakan hal yang bijak. Bagaimana kesalahan harus diakui, bagaimana kekalahan harus dimaklumi, begitu pula cinta yang harus pula dimengerti. Pengakuan itu butuh kejujuran sebagaimana hati yang dasarnya putih, akan terus mengungkap kebenaran. Rasa yang berkelabu itu bukanlah barang mutlak berdiam diri. Ia tetap meronta dari pikiran bawah sadar, mendobrak inti kesadaran untuk keluar. Tatkala semuanya sudah diungkap, biarkan realitas yang mengambil peran. Apakah sesuatu akan berbuah bahagia atau pun sebaliknya.

Berbahagia bukan pula mutlak untuk didapati. Maka, kita semua harus sadar sebuah subtansi di dalam dunia ini, tidak semua hal yang merupakan kemutlakan. Tidakpastian merupakan sebuah kepastian di dalam realitas. Jika cinta sudah diungkap, jangan pernah sesekali untuk menerka ujung karena hal tersebut akan membuat seseorang untuk berdiam diri. Biarkan hukum air berlaku, mengalir seperti adanya. Air bebas bergerak ke ujung jurang atau pun kolam pemandian gadis-gadis berbaik hati. Manusia tidak punya kuasa mengenai hal tersebut.

Freya pun sadar. Sudah ia lewati titik itu, ia berhasil melupakan Raka. Titik rasanya kita berpindah sebagaimana tujuan yang sudah berubah, yaitu untuk menyukai Arion. Ia tidak lagi harus merenggut patah hati akibat dinamika perasaan yang ia lihat dengan matanya sendiri, yaitu Raka tidak pernah memandangnya sebagai kedekatan hati. Ia hanyalah mereka-mereka yang tidak dianggap, diasingkan dari perasaan keintiman, hanya seorang figuran. Lambat rasanya Freya menyadari itu karena perasaannya sudah buta. Padahal, sejak dahulu sudah ia rasakan hingga berkali-kali air mata jatuh menanggung rasa pilu.

Dilema tidak lagi bermain kepada Freya. Bukankah ia sudah memiliki seorang kekasih yang memahami dirinya? Tidak perlu lagi bimbang, ataupun keabu-abuan masa depan. Arion merupakan kepastian itu sendiri. Beruntung bagi dirinya memiliki Arion yang menganggapnya sebagai kekasih yang utuh. Padahal, ia sama sekali belum memiliki rasa dan masih berusaha melupakan Karin. Namun, Freya percaya akan sebuah janji yang pernah mereka ucap. Mereka sama-sama satu tujuan, mencintai satu sama lain.

Ia tatap langit yang penuh doa itu. Awan putih menantinya untuk keluar dengan cemerlang. Beban sudah dilewati dan menunggu beban-beban yang lain. Ujian semester sudah dilewati dengan segala usaha untuk belajar. Cemas tetap ada, mengingat ia sangat memperhatikan nilainya sebagai seorang murid. Tidak ia pungkiri bahwasanya Freya sangat menginginkan mendapat nilai yang terbaik, meskipun ia rasa kemampuannya tidak seperti murid peringkat atas di sekolahnya. Jika menelisik kepada Arion, ia jauh berbeda dari pria yang tanpa belajar semalam pun tetap bisa keluar dengan tersenyum sehabis jadwal ujian.

Entahlah dengan pria itu. Freya rasa ia baru bertemu dengan seseorang yang diam-diam, ternyata menyimpan segala potensi yang bisa digunakan. Bayangkan saja, Arion selalu mengabari diri sedang keluar sendirian tanpa ingin belajar di malam hari. Terkadang, ia bergabung dengan Dinda yang belajar di sebuah cafe, meskipun ia tidak sama sekali memegang buku satu pun, hanya pergi duduk dan merokok. Keesokan harinya, di kala Freya mengeluh mengenai butir soal yang rumit, Arion malah bisa membahasnya kembali dengan cemerlang.

Itu pula yang membuat Freya kagum dengan sikap dinginnya itu. Dari balik diam itu, ia memiliki wawasan luas dan sifat lembut kepada seorang wanita. Ia tidak pernah memikirkan wanita sebagai objek, sebagaimana pria kebanyakan yang memandang wanita dari fisik. Freya yang merasa tidak secantik wanita lainnya, selalu dianggap spesial oleh Arion sendiri. Arion pandai memperlakukan wanita dan memahaminya sekaligus.

Secarik pesan singkat bersemayam di ponsel milik Freya. Ucapan semangat itu bersemat nama Arion di sebelah atasnya. Tanpa simbol emoticon sebuah pun―hanya berakhiran tanda titik yang tegas―Arion memberikan semangat kepada Freya yang akan mengikuti perlombaan. Ia tahu, Arion begitu memperhatikannya dengan caranya yang unik itu. Jika orang yang tidak paham, pasti akan menganggap sebagai ucapan formalitas. Bayangkan saja, Arion tidak pernah memberikan emoticon sekali pun. Alasan itu didukung oleh ponsel Arion yang hanya berupa ponsel kuno. Rasanya, pria itu pun malas merangkai emoticon dengan manual dengan serangkaian tanda baca yang disatukan.

Mobil jemputan datang. Raka tersenyum dibalik kaca mobil. Tidak ada satu pun orang yang ia bawa, Freya rasa rumahnya merupakan tempat pertama yang ia kunjungi. Pria itu keluar, kemudian membukakan pintu untuk Freya.

"Kostumnya sudah dibawa?” tanya Raka. “Hmm ... Karin sama Zeta udah duluan. Rumah mereka terlalu jauh buat gue ngejemput.”

Freya menunjuk pada terasnya. Ada sebuah tas yang mencuat sedikit ujung pedang imitasi sebagai properti nantinya. “Di sana ... semuanya udah siap. Termasuk gue sendiri.”

“Syukurlah ... lo harus siap mental juga. Di sana bakalan banyak sekolah yang menjadi saingan lo. Dan malamnya, langsung diumumin pemenang. Hari ini kita akan membawa piala.”

“Gue menantikan hal tersebut,” balas Freya.

Berangkat mereka menuju ke universitas yang menjadi tempat penyelanggaraan perlombaan. Perlombaan diadakan tepatnya di Fakultas Bahasa dan Seni. Tentu saja event budaya Jepang ini diselenggarakan oleh Jurusan Sastra Jepang. Nuansa budaya Jepang terlihat mulai dari mereka memasuki gerbang universitas di mana banyak spanduk-spanduk, bendera, serta mereka yang berpakaian cosplay berjalan menuju tujuan. Pohonan rindang yang menyejukkan dihiasi oleh lampion-lampion berhuruf sastra Jepang. Mata Freya tertuju kepada satu titik keramaian, di mana musik instrumental Jepang menggema ke seluruh penjuru. Setelah mereka turun dari mobil, barulah mereka bergabung ke keramaian tersebut.

Karin dan Zeta menunggu di tepat di bawa torii, sebuah gerbang kuil yang berwarna merah. Para mahasiswa telah kreatif membangun landmark tersebut dengan kayu sederhana yang dicat sedemikian rupa. Kesederhanaan itu pula yang membawa kental suasana di sini. Freya seakan kembali ke masa kecil, di mana dirinya untuk pertama kali berkunjung ke sebuah festival di Negara Jepang waktu itu.

“Lomba tinggal tiga puluh menit lagi. Pembukaan acara udah digelar tadi,” ucap Karin sembari melihat jam tangan. Lalu, ia memandang kepada Freya. “Sepertinya lo harus siap-siap di-make up sama Zeta. Peralatan make up semuanya ada di mobil gue.”

Lihat selengkapnya